Akses Terhadap Air dan Sanitasi : Ketertinggalan Masyarakat Desa/Hutan

Oleh : Joko Guntoro*

“Kesadaran sebagai legitimasi dalam menentukan sebuah tindakan manusia terletak dalam bangunan kesadaran terhadap hubungan timbal balik yang bersifat ekonomis” (Juergen Habermas, Krisis Legitimasi)

Pada tanggal 22 Maret 2008 ini, kita kembali memperingati hari air sedunia untuk ke lima belas kalinya. Peringatan “Hari Air Dunia” untuk pertama kalinya ditetapkan pada Sidang Umum PBB ke 47 tanggal 22 Desember 1992 melalui Resolusi Nomor 147/1993 ketika diterimanya Agenda 21 oleh negara-negara anggota PBB. Latar belakang penetapan dan pentingnya peringatan “Hari Air Dunia” adalah adanya permasalahan air akibat pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak berkelanjutan. Pada tahun 2007 kemarin tema yang diusung adalah “Mengatasi Kelangkaan Air”. Sedangkan tahun ini adalah “tema yang diusung untuk memperingati hari air sedunia adalah “internatonal year of sanitation”.Melihat kepada latar belakang perlu diadakannya peringatan “Hari Air Dunia” dan tema yang diusung tahun ini maka penting bagi kita untuk membicarakan penataan kawasan hutan, kemiskinan, kesenjangan pembangunan antara kota dan desa, khususnya masyarakat sekitar hutan. Semua isu ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sumber daya air dan sanitasi dan berpangkal pada satu ranah : kebijakan publik.

Kondisi Akses Sanitasi dan Air Bersih

Merujuk kepada Laporan Pencapaian Milenium Development Goals (Target Pembangunan Milenium) Indonesia Tahun 2007 bahwa akses masyarakat terhadap pelayanan air minum perpipaan – air dengan kualitas yang dapat diandalkan (reliable) dan lebih sehat dibandingkan dengan sumber air lainnya – di daerah perkotaan dan pedesaan pada tahun 2006 masing-masing sebesar 30,8 % dan 9,0 %. Angka ini menunjukkan penurunan bagi daerah perkotaan dibandingkan dengan tahun 2000 yang mencapai 36,2 %. Sementara itu, bagi pedesaan, akses masyarakat pada tahun 2006 meningkat dibandingkan tahun 2000 yang hanya sebesar 6,9 %. Di sini terlihat bahwa desa masih tertinggal.

Sementara itu, jika akses pelayanan air bersih tersebut dilihat berdasarkan definisi air bersih sebagai air minum non-perpipaan terlindungi – yaitu air dengan kualitas sumber air yang mempertimbangkan konstruksi bangunan sumber airnya serta jarak dari tempat pembuangan tinja terdekat dan arak yang layak antara sumber air dan tempat pembuangan tinja terdekat adalah lebih dari 10 meter – maka akan terlihat pula ketertinggalan masyarakat desa. Jika pada tahun 2006 sebesar 87,6 % masyarakat kota menikmati hal ini, maka tidak demikian halnya untuk masyarakat desa. Hanya sebesar 52,1 % masyarakat desa yang menikmatinya. Jumlah ini jika dibandingkan sama dengan tingkat akses masyarakat kota pada tahun 1994 (Laporan Pencapaian MDG’s Indonesia 2007, hal 87). Jadi, dapat dikatakan bahwa kondisi fasilitas air bersih di desa jauh tertinggal sejauh 12 tahun dibandingkan kota.

Dalam potret kemiskinan dan ketertinggalan tersebut, dimana posisi Sumatera Utara? Berdasarkan gambaran statistik yang ada, posisi kaum miskin Sumatera Utara terhadap akses air minum non-perpipaan terlindungi, tidak berbeda signifikan dengan rata-rata nasional. Propinsi yang memiliki jumlah penduduk miskin dan kantung kemiskinan yang besar ternyata memiliki tingkat akses yang rendah, terutama Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. Tingkat akses terhadap air bersih berkaitan erat dengan kemiskinan.

Setali tiga uang seperti halnya akses air bersih, akses masyarakat desa terhadap fasilitas sanitasi yang layak juga masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan kota. Hanya sebesar 60 % masyarakat desa yang menikmati fasilitas sanitasi yang layak. Angka ini berbeda 9,3 % dibawah rata-rata nasional. Sementara jika dibandingkan dengan kondisi kota, jurang perbedaan tersebut cukup lebar yaitu sebesar 21,8 %. Angka pencapaian akses masyarakat desa terhadap fasilitas sanitasi tahun 2006 yaitu sebesar 60 % tersebut tidak jauh berbeda, bahkan relatif sama, dengan tingkat akses masyarakat kota pada tahun 1992 yaitu sebesar 57,5 %. Hanya berbeda sebesar 2,5 %. Tingkat akses masyarakat desa jauh tertinggal 14 tahun dibandingkan kota.

Walaupun sulit untuk mengetahui data akurat mengenai jumlah populasi penduduk sekitar kawasan hutan, bahkan dinas kehutanan pun mungkin tidak memiliki data yang dapat diandalkan untuk ini, dapat dipastikan kondisi mereka tertinggal. Masyarakat sekitar hutan tergolong ke dalam mereka yang tinggal di desa (masyarakat desa). Dengan mendasarkan diri pada data ketertinggalan desa seperti telah diuraikan sebelumnya maka generalisasi terhadap ketertinggalan akses masyarakat sekitar hutan terhadap air bersih dan sanitasi mendekati kebenaran. Sebagai contoh, ketika penulis melakukan observasi di sekitar kawasan Suaka Margasatwa Singkil-Trumon, berdasarkan data statistik yang ada untuk tahun 2006 (BPS Kabupaten Aceh Singkil, 2006), untuk Kabupaten Aceh Singkil, diperoleh data lebih dari 70 % populasi tergolong sebagai penerima raskin (beras miskin). Lebih lanjut, di beberapa lokasi di sepanjang Sungai Alas (Sungai Soraya – sebutan dari masyarakat setempat), misalnya saja Kecamatan Rundeng, mayoritas penduduk meminum air dari air sungai yang berwarna kuning dan ketika dimasak/didiamkan akan terlihat endapan tanah berwarna kuning. Sungai ini juga menjadi tempat untuk mandi, mencuci dan membuang tinja bagi warga.

Ketidakadilan Bagi Masyarakat Desa dan Sekitar Hutan

Berkaitan dengan kedua kondisi tersebut, maka kita akan bertanya: mengapa demikian?. Mengapa akses masyarakat desa dan sekitar hutan terhadap kedua fasilitas yang sangat mendasar tersebut jauh tertinggal?. Banyak faktor yang menjadi determinan, diantaranya adalah kemiskinan, ketersediaan teknologi, kemampuan daya beli (sumberdaya finansial) masyarakat desa, hak penguasaan Sumber Daya Alam, kondisi lokasi (terutama bagi masyarakat hutan sekitar hutan rawa/mangrove). Semuanya ini bermuara pada pilihan kebijakan pembangunan oleh pemerintah : hendak memiskinkan atau memberdayakan masyarakat desa dan sekitar hutan.

Bagi masyarakat sekitar hutan, keberadaan hutan beserta sumberdaya yang terkandung didalamnya memainkan peranan penting bagi penghidupan (livelihood) mereka, bagi kemampuan daya beli mereka. Dengan memanfaatkan hutan seperti mengambil madu, buah-buahan, tumbuhan obat, perikanan rawa, mereka dapat meminimalisir resiko sosial ekonomi (vulnerability) akibat kegagalan panen atau kecenderungan musiman. Ketika sumberdaya tersebut tiba-tiba dikuasai oleh negara atau pihak lain, misalnya dengan penetapan kawasan hutan atau pemberian konsesi kepada perusahaan (pertambangan, perkebunan, dll) yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, menyebabkan masyarakat kehilangan hak untuk memanfaatkan hutan maka disinilah mulai diciptakan pemiskinan. Logika yang digunakan adalah teritorialisasi. Menurut logika ini, bagi mereka yang tidak memiliki hak teritori dilarang untuk masuk dan memanfaatkan hasil dari suatu teritori kawasan. Dengan kata lain, masyarakat dilarang untuk masuk dan memanfaatkan hutan.

Penetapan kawasan hutan untuk menyelamatkan keseluruhan ekosistem (hutan memainkan peranan penting sebagai daerah tampungan dan resapan yang menjamin keberlangsungan ketersediaan air) adalah penting. Tetapi, penetapan kawasan tanpa disertai substitusi mata pencaharian masyarakat adalah tindakan pemiskinan karena menghilangkan peluang masyarakat sekitar hutan untuk tumbuh dan berkembang. Maka menjadi sangat tidak realistis dan tidak manusiawi ketika pemerintah berteriak, memerintah kepada masyarakat desa dan sekitar hutan untuk menjaga hutan, melarang mereka untuk memanfaatkan lahan yang selama ini secara turun temurun dikelola (tanah ulayat), tetapi tidak pernah memberikan peluang alternatif atau sumber penghasilan alternatif yang wajar, layak, sebanding untuk mengganti sumberdaya mereka yang hilang. Ini sama saja dengan memproduksi kemiskinan di tingkat desa. Akibatnya daya beli masyarakat menurun.

Sementara itu, masyarakat yang hidup di kota tetap melenggang menebang tumbuhan yang ada, mencemari udara dengan menebar racun karbon, mencemari air dengan berbagai bahan kimia. Ini adalah penggunaan standard ganda. Sama halnya seperti perilaku negara maju yang berteriak lantang kepada negara berkembang untuk mengurangi emisi sementara tingkat pencemaran emisi CO2 mereka tidak lebih kecil dibandingkan negara negara berkembang, misalnya saja Inggris dan Amerika Serikat yang tingkat emisi CO2 perkapitanya masing-masing sebesar 9,8 dan 20,6 untuk tahun 2004 (Human Development Report 2007, hal 310). Sementara kondisi di tahun 1990, untuk masing-masing negara tersebut adalah sebesar 10,0 dan 19,3. Indonesia sendiri sebesar 1, 7 untuk tahun 2004 dan 1,2 untuk tahun 1990. Negara mana yang melakukan pencemaran CO2 lebih besar?. Padahal emisi CO2 merupakan salah satu unsur utama yang menyebabkan pemanasan global yang telah menyebabkan bencana alam, naiknya permukaan air laut, pergeseran iklim dan menciptakan kelangkaan air.

Telah banyak terjadi kasus konflik antara pemerintah dan masyarakat tentang persengketaan hak atas hutan, hak atas air dan masyarakat sering kali menjadi pihak yang dikalahkan. Logika teritorialisasi tersebut turut pula menjiwai UU Sumber Daya Air Nomor 7 tahun 2004. Bagi mereka yang dapat membeli hak atas penguasaan air maka dapat melarang pihak lain memanfaatkan sumber air tersebut. Tidak mengherankan bila akhirnya terciptalah apa yang dikatakan Vandhana Shiva sebagai “water wars” atau “perang air”. Air telah menjadi “minyak biru” yang diperebutkan oleh para pemilik kapital. Beberapa waktu lalu, masyarakat di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah berkonflik dengan salah satu perusahaan air kemasan ternama karena perusahaan air tersebut tiba-tiba menguasai sumber mata air yang selama ini dimanfaatkan masyarakat. Perang air diprediksi akan terus ekstensif di masa yang akan datang.

Air sesungguhnya adalah barang publik (public goods), bukan pribadi (privat goods). Ketika ia menjadi barang privat maka disinilah terjadi penyelewengan hak asasi manusia dan penyelewengan ini berakar pada logika kapitalisme liberal. Bagi kapitalisme, seluruh isi dunia diasumsikan sebagai kapital dan hak penguasaannya dapat diperjualbelikan. Pemilik hak adalah mereka yang memiliki sumberdaya keuangan terbesar. Jika masyarakat dahulu mendapatkan air bersih secara gratis melalui mata air yang mengalir bebas, kini masyarakat harus membelinya. Padahal UU No 7 tahun 2004 mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar air bagi warga negaranya.

Namun, sedikit pesimis mengharapkan pemenuhan kewajiban oleh negara terhadap warganya. Lihat saja besarnya anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi belanja pembangunan. Misalnya saja pada tahun 2006 (sebagai tahun basis bagi data yang digunakan dalam uraian pencapaian MDG’s di atas), pada tingkat nasional, pengalokasian anggaran bidang pembangunan manusia (human development) — termasuk kesehatan dan pendidikan — jumlahnya terbatas. Dalam APBN 2006, anggaran untuk sektor yang berhubungan langsung dengan pengentasan kemiskinan , termasuk untuk masyarakat pedesaan, mendapat alokasi marjinal (untuk kesehatan sebesar Rp 37,830 trilyun, dan pendidikan hanya Rp 40,1 trilyun) dari total anggaran Rp 375,1 trilyun.

Realisasikan Hak Kebutuhan Dasar

Sudah saatnya membicarakan desa tidak lagi sekedar berdasarkan perspektif kemiskinan, ketertinggalan, pertanian, keterpurukan. Namun, lebih dari itu – dan ini sering terlupakan secara prinsip – semua itu harus dipandang sebagai Hak Asasi Manusia untuk tumbuh dan berkembang, pemenuhan hak-hak dasar (sosial, ekonomi, budaya) kehidupan, sebagai bagian dan kesatuan dari warga dunia (global citizen), termasuk didalamnya hak akan air bersih dan sanitasi yang layak (water and sanitation).

Amartya Sen mengartikan pembangunan sebagai kemerdekaan (development as freedom). Dalam arti demikian, maka sudah seharusnya bagi semua kalangan (pemerintah, masyarakat sipil, sektor privat) untuk merealisasikan prinsip tersebut yaitu memperbanyak pilihan yang berkualitas bagi masyarakat desa dan sekitar hutan untuk mengaktualisasikan dan merealisasikan hak nya sebagai manusia dengan cara mengembangkan substitusi mata pencaharian bagi mereka, mengarahkan anggaran pembangunan ke desa, memberikan bantuan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan. Ini semua demi meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat desa sehingga tercipta masyarakat desa yang berdikari (mandiri dan berdaya) dan berkelanjutan.

Demikian pula seharusnya negara maju terhadap negara berkembang. Jika rencana perdagangan karbon seperti yang mengemuka selama ini benar-benar terwujud, maka sebelum itu harus disusun terlebih dahulu mekanisme penyaluran dana perdagangan karbon tersebut agar sungguh-sungguh tepat sasaran, sampai kepada masyarakat dan bebas dari korupsi


* *Penulis adalah peminat masalah kesejahteraan sosial dan lingkungan. Anggota GMNI. alumnus FE UII dan Ilmu Sosiatri (social policy) Fisipol UGM Yogyakarta.. E-mail : jokoguntoro@gmail.com. Tulisan ini dipublikasikan dalam rubrik Lingkungan, Harian Analisa, edisi 6 April 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *