CSR Sebagai Community Development?
Oleh : Joko Guntoro*
Istilah CSR (Corporate Social Responsibility) atau sering diterjemahkan menjadi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan semakin ekstensif digunakan oleh berbagai kalangan : akademisi, aktivis sosial (LSM) dan terutama dari kalangan bisnis (sektor privat). Istilah ini bergerak menjadi trend bisnis terutama korporasi besar dan transnasional. Bahkan beberapa waktu lalu, CSR telah diregulasikan di Indonesia. Ini tentu terobosan yang berani sebab isu CSR di lingkup internasional masih dalam pertarungan antara mereka yang menghendaki voluntary yang lebih mengedepankan pendekatan moral dan mereka yang menghendaki agar CSR diwajibkan karena pendekatan moral dianggap tidak cukup mampu untuk mencegah perusahaan melakukan tindakan yang tidak etis.Selain itu, kajian CSR telah menjadi lahan industri baru yang diindikasikan oleh munculnya berbagai institusi yang menyediakan layanan yang berkaitan dengan isu-isu CSR. Di Indonesia misalnya CFCD (Corporate Forum for Community Development), IBL (Indonesian Bussiness Links). Sementara untuk skala global kita mengenal BSR, UN Global Compact, WBCSD, CSR Asian Forum dan institusi lainnya. Kebanyakan dari institusi-intitusi tersebut disponsori oleh perusahaan-perusahaan berkapital besar.
Sampai di sini menjadi kurang signifikan bagi kita untuk melacak motivasi perusahaan-perusahaan tersebut aktif dalam mengintrodusir dan melakukan CSR. Dilihat dari sisi makro-historis, sikap tersebut lebih merupakan tindakan reaktif terhadap gelombang demokratisasi dan meningkatnya tuntutan agar perusahaan menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM serta melestarikan lingkungan dalam melakukan aktivitasnya (Utting, 2005). Reputasi dan legitimasi/lisensi sosial adalah dua dari beberapa manfaat strategis yang diperoleh perusahaan (Moir, 2000). Setiap pihak selalu mencari insentif ;“there are no free lunch” ungkap Adam Smith. Dengan kata lain, entitas perusahaan melakukan CSR jelas didorong oleh rasionalitasnya : profit oriented.
Namun, kemudian profit tersebut tidak hanya hanya diukur dari sektor finansial semata, tetapi diterjemahkan ke triple bottom line : financial, environmental, social. Rentang CSR pun membentang yaitu kepada komunitas, pekerja dan keluarganya, konsumen, pemasok (Moir,2000 ; WBCSD) CSR kepada komunitas atau yang lebih disimplifikasikan oleh berbagai kalangan adalah CD (Community Development). Dalam melakukan CSR bidang sosial ke komunitas, perusahaan sering melakukannya dengan bentuk donasi sosial (charity) seperti sumbangan kepada korban bencana, bantuan beasiswa, bantuan pembangunan infrastruktur fisik yang dilakukan oleh perusahaan tambang, misalnya PT Chevron di Riau dan PT Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa.
Tantangan CSR : Kemandirian dan Keberlanjutan Komunitas
Dengan komitmen perusahaan menyediakan dana dan terkadang membentuk departemen khusus yang menanganI community development, maka pertanyaan sekaligus tantangan terbesar selanjutnya adalah “bagaimana aktivitas CSR dapat mewujudkan community development?”. Hal ini didasarkan peertimbangan bahwa CD lebih merupakan pendekatan strategi dari pada sebuah program. Terlebih bila dilihat dari fakta sejarah bahwa CSR yang notabene lebih bermakna sebagai “the new strategy to do bussiness / the new way of marketing”, maka gagasan CSR akan serta merta merealisasikan community development masih menghadapi beberapa tantangan.
Pertama, aspek sustainable self-help (kemandirian yang berkelanjutan). Pembangunan adalah tujuan sekaligus proses menuju pribadi yang merdeka di saat bersamaan. Dalam pengertian Amartya Sen, pembangunan adalah sebagai proses yang merdeka menuju individu yang merdeka ; development as freedom. Kemerdekaan bukan hanya berfungsi sebagai tujuan, tetapi juga sarana. Tidak jauh berbeda adalah Todaro yang menyatakan bahwa di antara visi pembangunan adalah membebaskan diri dari sikap menghamba dan memperbanyak pilihan (2000). Pola CSR yang karitatif dan paternalistik tidak akan mampu mengakomodasi paradigma seperti ini karena pola karitatif tidak melibatkan proses yang partisipatif dan mencerahkan komunitas. Pola karitatif hanya melihat komunitas sebagai pihak yang membutuhkan bantuan (lemah). Oleh karena itu perlu dibantu. Permasalahannya adalah bantuan ini sering tidak melibatkan perubahan struktural yang mendasar yang dibutuhkan komunitas untuk memerdekakan diri dari ketertinggalan. Dengan mengabaikan proses yang partisipatif maka visi mulia CSR sebagai pembangunan sulit untuk direalisasikan.
Kedua, pola perusahaan dalam melaksanakan CSR kepada komunitas. Pola charity atau sekedar memberikan donasi sosial atau membentuk kegiatan ekonomi bagi lingkungan di sekitar perusahaan tidaklah cukup ; necessary but not sufficient. Sudah sewajarnya perusahaan meninggalkan program dan kebijakan CSR yang sekedar memberikan layanan sosial yang paternalistis. Layanan paternalistis, walaupun diakui terkadang berguna daalam jangka pendek, pada akhirnya cenderung menimbulkan sikap ketergantungan. Perlu dilakukan pembangunan kapasitas bagi komunitas sehingga diharapkan masyarakat dapat mencari, menciptakan dan memanfaatkan peluang yang ada saat ini dan masa depan.
Ketiga, aspek sustainable institutional. Institusi sosial memiliki dua arti. Pertama yaitu pengertiannya sebagai sebuah organisasi. Kedua, pengertiannya sebagai seperangkat aturan – formal maupun informal – yang mengarahkan perilaku seseorang. Keberadaan institusi akan sangat berpengaruh dalam menyediakan alternatif tindakan anggota komunitas. Institusi juga menyediakan sumberdaya (dana, keahlian, jaringan, komitmen) yang dibutuhkan untuk mencapai pembangunan komunitas. Dengan peranan yang sedemikian besar itu, keberlanjutan institusi yang menopang terciptanya pembangunan komunitas penting untuk diciptakan dan dipertahankan. Institusi inilah yang menjembatani perbedaan nilai, karakter, kepentingan antara perusahaan, komunitas dan pemerintah. Guncangnya institusi ini akan mengguncang pula hubungan di antara ketiganya.
Ke empat, aspek komunitas. Dalam berbagai tulisan, kita sering disuguhkan bahwa komunitas itu adalah sesuatu yang tunggal. Seolah-olah di dalamnya tidak terdapat dinamika. Padahal dalam kenyataannya, komunitas memiliki dinamika dan struktur tersendiri. Ia terstratifikasi atas berbagai kelas dan golongan, kepentingan. Semuanya saling kait mengkait membentuk dinamika yang khas. Lebih lanjut, semua ini akan mempengaruhi program dan kebijakan sosial perusahaan. Perusahaan dalam berhubungan dengan komunitas terkadang mengalami bias elit. Menurut Moir (2002) perilaku sosial perusahaan sangat dipengaruhi oleh atribut kekuasan (power), urgensitas. Tidak mengherankan bila kemudian perusahaan lebih intens berhubungan dengan kelas elit dibandingkan non-elit. Permasalahannya adalah seandainya pendekatan ini yang digunakan maka bukanlah pembangunan komunitas yang akan diperoleh melainkan pertentangan anggota komunitas. Tanpa mekanisme yang jelas dan mempertimbangkan aspek keadilan di dalam komunitas, maka bantuan justru dapat menjadi bumerang bagi eksistensi perusahaan. Perusahaan kehilangan legitimasi/lisensi sosialnya. Bantuan atau program yang tidak mempertimbangkan aspek lokalitas akan memproduksi konflik baik antar anggota di dalam satu komunitas, komunitas-komunitas, komunitas-perusahaan.
Dalam hal ini, transaksi antara eksternalitas negatif yang ditimbulkan perusahaan dan manfaat yang diperoleh oleh komunitas memainkan peranan penting. Jika eksternalitas negatif tersebut ditanggung oleh komunitas, maka sudah seharusnya manfaat dipetik oleh komunitas dalam porsi yang sama. Kalau ini tidak terjadi maka aspek keadilan sosial akan terlukai. Ini akan merangsang tumbuh suburnya deprivasi sosial. Pada proses selanjutnya, cukup diperlukan pemicu guna terjadinya konflik terbuka – tidak tertutup kemungkinan melibatkaan kekerasan – antara perusahaan dan masyarakat. Jika skala konflik membesar, tidak menutup kemungkinan konflik akan melibatkan pemerintah sehingga konflik akan berlangsung antar sektor : komunitas/masyarakat sipil, perusahaan/privat (pasar), pemerintah (wilayah politik).
Contoh kasus adalah konflik terbuka antara komunitas antara masyarakat yang mendukung dan menolak sebuah usaha pertambangan di Pulau Sumbawa (Guntoro, 2007). Mereka yang mendukung dalam banyak hal mendapat manfaat ekonomis yang lebih banyak dibandingkan mereka yang menolak. Mereka yang mendukung memperoleh keuntungan tersebut dengan menjadi pemasok bagi kebutuhan usaha. Mereka ini didominasi oleh kelas elit desa. Sementara mereka yang menolak tidak memperoleh manfaat langsung ini. Ini bukanlah kecemburuan sosial, tetapi ketidakadilan sosial. Logika yang berjalan adalah jika ekternalitas negatif itu harus ditanggung oleh komunitas maka mengapa manfaat itu hanya untuk individu. Terjadi kesenjangan transaksi di sini. Kesenjangan itu diproduksi oleh struktur sosial politik yang ada.
Epilog
CSR, dalam hal ini tanggungjawab kepada komunitas, memiliki potensi untuk mengankat taraf hidup bangsa. CSR juga dapat menjadi perekat atau penghancur eksistensi komunitas. Hancurnya komunitas ditengarai oleh Peter Drucker dalam tulisannya, Civilizing The City (1998), menyebabkan meningkatnya kerawanan sosial seperti meningkatnya tindakan kriminalitas. Oleh karena itu, ia menyarankan pentingnya membangun kembali komunitas yang telah luluh lantak dihancurkan oleh kapitalisme brutal. Pembangunan komunitas (community development) bukanlah urusan sekedar bagaimana meningkatkan kekayaan ekonomi mereka sehingga dapat membeli lebih banyak mengisi keranjang konsumsi.
Namun, lebih dari itu, ia dalam waktu bersamaan harus mengajarkan kepada anggota komunitas untuk lebih bertanggungjawab, peduli terhadap sesama atau “avoiding social ignorance” seperti diungkapkan Frank dan Smith (1999). Tetapi tentu bukanlah sebuah sikap untuk mengintervensi kebebasan dan menentukan baik buruknya apa yang harus dilakukan seseorang. Sikap seperti ini bukanlah kepedulian melainkan sikap kediktatoran (dictatorship). Inilah tantangan terbesar yang dihadapi oleh CSR.
Solute to joko..
sudah seharusnya wacana comdev untuk CSR karena selama ini CSR hanyalah sebuah balas budi perusahaan kepada masyarakat.
anyway, can i take this article. i am just finishing my research in implementation CSR. thanks.
regard,
http://www.theordinary.wordpress.com
Salam kenal,
Saya mendukung pendapat Mbak Lia bahwa Comdev dan atau community empowerment harus benar-benar diimplementasikan oleh perusahaan. Tidak sekadar lips service, branding untuk menanggapi pasar yang semakin “sosial”.
Mbak Lia dapat mengambi artikel ini. Mungkin, dikarenakan ini diskusi yang agak panjang, saya akan langsung menguhubungi mbak Lia untuk berdiskusi tentang ini.
Salam,
Joko Guntoro
SatuCita Institute
thank you. we are really appreciate if you would like to share with your mates.
best wishes to you.
Many thanks, we are really apprecite if you would like to help us. Would you like to specifically state what do you want to help us?
Many thanks.
Many thanks.
Thanks.
Thanks.
thank you for your comment!
thank you for your comment. Best wishes to you!