Diskriminasi, Mungkinkah Diakhiri?

Oleh : Joko Guntoro*

Kita hidup tidak hanya berdampingan, tetapi juga di dalam dunia yang diskriminatif. Kita mengalir bersama arus kehidupan yang diskriminatif. Kita tidak hanya hanyut bersama pola kehidupan yang demikian, tetapi justru banyak di antara kita yang mengkreasikan arus kehidupan yang membeda-bedakan sikap, tindakan, perilaku berdasarkan pada perbedaan karakteristik suku, agama, ras, ciri-ciri fisik – misalnya saja dengan apa yang kita namakan kaum cacat – tersebut. Ironisnya, perilaku ini sering bersarang dalam rasionalitas kita. Ini adalah satu tragedi kemanusiaan manusia modern.
Beragam Cerita Sehari-hari
Dimana-mana akan kita temukan diskriminasi. Diskriminasi itu tidak hanya terjadi di sektor privat, tetapi dilakukan juga oleh sektor sipil dan negara/politik. Diskriminasi terjadi di ketiga sektor tersebut. Tidak percaya? Contoh kasus sederhana, dalam dunia ketenegakerjaan, adalah iklan lowongan kerja di media (cetak atau elektronik). Di situ, kita akan banyak menemukan lowongan yang mempersyaratkan jenis kelamin tertentu untuk jenis pekerjaan tertentu. Sangat tipikal adalah keuangan dan administrasi biasanya diperuntukkan bagi perempuan. Berbeda dengan pekerjaan lapangan yang sering diperuntukkan bagi laki-laki.
Kasus lainnya ialah berapa banyak perusahaan yang mempekerjakan penyandang cacat? Padahal menurut penjelasan pasal 14 UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat disebutkan “perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang karyawan” dan “perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari 100 (seratus) orang”. Nasib aksesibilitas penyandang cacat terhadap bangunan dan fasilitas publik juga setali tiga uang alias masih terpinggirkan. Padahal aksesibilitas penyandang cacat ini wajib dipenuhi oleh negara juga sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UU No 4 Tahun 1997 “penyandang cacat berhak:…(4) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya”.
Selain di bidang ketenagakerjaan, dalam politik juga tidak jauh berbeda. Mencoba bercermin dari pengalaman PILGUBSU kemarin, ada pengalaman yang menurut penulis sedikit banyak terkesan diskriminatif atau paling tidak bernuansa pengkategorian sosial berdasarkan pisikal. Pada saat PILGUBSU yang lalu penulis kebetulan melewati dua jalan protokol. Satu di Kota Medan dan satu lagi di Kota Binjai. Di jalan protokol yang di Medan, salah satu pasangan calon gubernur, dengan ukuran poster yang mencolok, di situ tertulis “Sahabat Semua Suku”. Sedangkan di Kota Binjai, di salah satu spanduk yang mendukung salah satu pasangan calon tertulis “Kaum Melayu Kota Binjai Siap Memenangkan (nama pasangan calon) Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2009-2014”.
Kedua slogan kampanye ini sesungguhnya mengungkapkan model kesadaran politik yang terbangun di Sumatera Utara. Dengan mengangkat isu kesukuan (yang satu mencoba merangkul semua suku, sedangkan satunya mengarahkan satu suku kepada calon pasangan tertentu) dapat ditafsirkan bahwa isu kesukuan masih berperan dalam arus politik Sumatera Utara. Seharusnya ketika etnisitas tidak lagi menjadi rasionalitas politik maka kita tidak akan menemukan slogan-slogan kampanye yang masih berbasiskan etnisitas tersebut, tetapi berdasarkan visi dan program kerja si calon.
Di Balik Tindakan Diskriminatif : Rasionalitas Instrumental
Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai diskriminasi, ada baiknya diberikan definisi diskriminasi. Diskriminasi, menurut PBB diartikan sebagai “diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya”. Sedangkan Theodorson & Theodorson (1979:115-116) mengartikan diskriminasi sebagai “…adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial”. Pengertian kedua definisi tersebut tidak jauh berbeda. Bahwa di sana ada membedakan tindakan berdasarkan atribut-atribut tertentu. Definisi tersebut juga menyiratkan bahwa diskriminasi bukanlah monopoli kaum dominan dan mayoritas terhadap kaum subordinat dan minoritas. Diskriminasi dapat dilakukan oleh siapa saja kepada siapapun juga.
Melihat beberapa contoh kasus seperti diutarakan di awal, tindakan diskriminatif bukanlah dideterminasi oleh rasa dan prasangka (prejudice) semata. Ia memiliki dan dibangun di atas rasionalitas tertentu. Seandainya kita merujuk kepada teori tindakan sosial dalam ranah Ilmu Sosiologi, salah satu premisnya adalah “seseorang akan mengulangi perbuatannya berdasarkan hasil imbalan dan hukuman (reward and punishment) yang diperoleh atau diharapkannya”. Diskriminasi yang mendapat justifikasi oleh hasil/manfaat/keuntungan (ekonomi, politik) potensial (terlebih aktual) yang diperoleh oleh pelaku tindakan diskriminatif akan menyuburkan dan menyebabkan pelaku untuk mengulangi tindakan diskriminatif. Berulang dan berulang. Diskriminasi bukanlah “permainan” rasa suka – tidak suka yang melibatkan perasaan, tetapi ia adalah “permainan dan pertimbangan” rasionalitas.
Rasionalitas yang digunakan adalah rasionalitas instrumental alias cost and benefit calculation. Dalam rasionalitas jenis ini, semuanya dihitung berdasarkan kalkulasi ekonomis. Tindakan yang tidak mendapat justifikasi ekonomis tidak akan mendapat tempat dan dianggap tidak bermanfaat. Tidak ada logika moral, sosial. Satu-satunya yang mendapat tempat dan benar adalah yang memenuhi kalkulasi ekonomis. Selama sebuah tindakan diterima oleh kalkulasi biaya – manfaat dan tindakan tersebut mendatangkan manfaat ekonomis, maka selama itu pula tindakan tersebut dapat diterima dan harus dilaksanakan. Satu-satunya moral, menurut model rasionalitas jenis ini, adalah moral ekonomis.
Rasionalitas ini adalah salah satu penyebab mengapa perilaku dan tindakan diskriminatif tidak hilang dan – misalnya dalam kasus bagi penyadang cacat – mengapa UU No.4 Tahun 1997 tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Pelayanan publik, penerimaan tenaga kerja atau perlakuan apapun kepada seseorang dengan membedakannya berdasarkan kepemilikan uang (kapital), status sosial, kedekatan (nepotisme), atribut fisik adalah diskriminasi. Dengan melakukan diskriminasi si pelaku mengharapkan mendapat keuntungan potensial dari segi sosial, ekonomis, politik – misalnya pegawai negeri yang membeda-bedakan pelayanan publik terhadap masyarakat dan atasannya (misalnya antara pelayanan kepada tukang becak dan Bupati) berharap akan mendapatkan “citra positif” di depan atasannya. Demikian pula di Rumah Sakit, misalnya pembedaan layanan terhadap pasien penerima Askin dan kamar VIP (Very Important Present) akan sangat terlihat, misalnya saja dari aspek kebersihan kamar dan kunjungan (pengecekkan) oleh dokter. Layanan kesehatan seharusnya tidak boleh dibedakan berdasarkan harga, kecuali fasilitas kamar seperti TV, kulkas, AC bolehlah dibedakan berdasarkan harga. Pernahkah kita mendengar, membaca ada Rumah Sakit yang menolak pasien yang hendak di rawat di ruang VIP? Tidak. Tetapi, kita pernah mendengar, bahkan mungkin sering, membaca penolakan pasien Askin oleh Rumah Sakit. Semua ini adalah salah satu bukti masih berlangsungnya pola perilaku diskriminatif berdasarkan atribut kelas sosial. Kita pun terdiam saja bukan?
Didukung Sistem dan Moralitas Egosentris
Kenapa rasionalitas instrumental tersebut bertahan padahal sudah ada UU yang mengaturnya?. Pertama, karena rasionalitas tersebut dilindungi oleh sistem politik, ekonomi, budaya yang tertutup. Tidak ada keterbukaan informasi sehingga publik (pasar) tidak mengetahui bahwa ada seseorang/pihak yang melakukan diskriminasi. Masyarakat (publik) tidak pernah mengetahui bagaimana mekanisme ketenagakerjaan atau mekanisme pelayanan sosial itu bekerja. Tidak ada informasi yang cukup transparan, akuntabel oleh masing-masing institusi. Walaupun sebuah lowongan atau pelayanan diiklankan secara terbuka, tetapi prosesnya sangat jarang diketahui/diakses oleh publik sehingga tidak ada cukup informasi (pengetahuan) yang cukup bagi publik untuk melihat proses tersebut berjalan.
Kedua, isu diskriminasi belum menjadi perhatian dan tanggung jawab masyarakat. Kalaupun diskriminasi menjadi perhatian, itu hanya sebatas melahirkan regulasi, semoga ini bukan gejala regulasi menjadi komoditas. Tidak ada sosialisasi sehingga masyarakat tidak mengetahui apa itu diskriminasi. Tidak ada institusi sosial yang berfungsi melanjutkan dan mengawasi implementasi peraturan. Penegakan hukum yang sebenarnya diharapkan mampu menjadi agen perubahan moral (sustainability changes of moral behavior) tidak berjalan karena tidak didukung oleh sistem dan kepedulian moral akan pentingnya menghargai Hak-Hak Dasar Individu. Kepedulian moral hanya sebatas motif egosentrisme “Untung Saya Apa”. “Seandainya tidak ada kepentingan saya, maka untuk apa saya turut campur”, ini adalah cerminan logika dan moral “Untung Saya Apa”. Kita belum cukup menghargai dan menghormati hak-hak dasar setiap individu.
Akhiri Diskrminasi
Di balik diskriminasi adalah rasionalitas instrumental, kalkulasi biaya-manfaat. Mekanisme memeranginya tidak cukup hanya dengan strategi hukum positif negara karena bila kita melihat kenyataannya produk hukum terbukti, paling tidak sampai saat ini, mandul. Ini adalah kegagalan institusional negara.
Perlu strategi institusional alternatif untuk menghukum institusi dari ketiga sektor tersebut. Hukuman publik (pasar) cukup berpotensi. Jika ada sebuah perusahaan yang diduga bertindak diskriminatif, maka lakukan kampanye bersama untuk tidak membeli produknya (aksi boikot). Jika ada sebuah organisasi sosial (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang diduga bertindak diskriminatif maka kampanyekan agar tidak ada pihak yang mendanai LSM tersebut. Jika ada sebuah institusi negara, misalnya gedung yang tidak menjamin akses seluruh masyarakat termasuk kepada penyandang cacat, kampanyekan untuk memperbaiki gedung tersebut atau menuntut pejabat yang bertanggungjawab agar mundur.
Lantas, dari mana kita mengetahui bahwa sebuah institusi tersebut diskriminatif?. Terdapat hal-hal yang memang dengan mudah kita dapat mengetahui suatu lembaga itu diskriminatif atau tidak. Kasus aksesibilitas penyandang cacat adalah hal yang mudah karena ia kasat mata. Bagaimana dengan penggajian? Pemilihan tenaga kerja atau pun lainnya? Dalam hal ini transparansi dan akuntabilitas adalah wajib bagi ketiga institusi di ketiga sektor tersebut karena ketiga sektor tersebut adalah milik publik. LSM mendapatkan pendanaan dari dan demi kepentingan publik, perusahaan mendapatkan dana untuk operasinya dengan menjual produknya kepada publik (pasar), negara mendapatkan dana dari warga negaranya dan didirikan untuk tujuan menyejahterakan warganya.
Perlu komitmen kita untuk memerangi logika diskriminatif tersebut dengan dua cara. Pertama, membangun sistem yang transparan dan akuntabel (good governance) terhadap trisektoral (sipil, negara, swasta). Tanpa transparansi dan akuntabilitas dari ketiga sektor tersebut, maka status quo rasionalitas perilaku diskriminatif akan sulit diakhiri. Kedua, berikan hukuman publik (pasar) terhadap pelaku dari ketiga sektor yang terbukti melanggar. Ini bisa diawali dari tingkatan individual. Kedua langkah ini harus berjalan seiringan. Sampai di sini pertanyaan tersisa adalah “akankah kita peduli mengakhiri diskriminasi?”. Jawabannya ada di dalam keberanian merubah rasionalitas moral kita sebagai manusia.

*founder The SatuCita Institute. Tulisan ini pernah dimuat di Harian ANALISA, Medan, edisi 26 Mei 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *