Inveastasi Seluler Pacu Ekonomi Alternatif Daerah
SINYAL HADIR: MERETAS PELUANG EKONOMI ALTERNATIF DAERAH
Oleh: Joko Guntoro*
Warga mendapatkan tenaga ekonomi ketika dilakukannya pembangunan stasiun pemancar operator seluler nasional. Investasi ini memberikan sumber daya untuk menciptakan dan menyambut peluang, aktivitas ekonomi alternatif. Sekarang sudah ada sekitar sepuluh warung telepon seluler untuk melayani warga. Dari sepuluh tersebut, tujuh diantaranya adalah usaha baru yang mulai berdiri sejak dirampungkannya pembangunan pemancar seluler baru. Ada juga yang membuka penginapan mini dari modal yang diperoleh hasil menjual lahan untuk pembangunan pemancar.
Penduduk Kecamatan Kuala Baru, Aceh Singkil, kini dapat sedikit lega dan bergembira. Pasalnya, pemancar sinyal telepon seluler telah hadir secara permanen dengan kualitas sinyal yang baik sejak akhir bulan Oktober 2008. Tepatnya 30 Oktober 2008. Pada hari ini, salah satu operator telepon seluler nasional merampungkan pembangunan pemancar dan melakukan uji coba.
Hari itu semua orang yang “terhubung” dengan daerah ini – anak yang merantau sekolah, kerabat yang merantau bekerja dan tinggal di daerah lainnya, rekan usaha yang tinggal di kota – merasa lega, bahagia. Rasa terisolasi yang selama ini menyelimuti sedikit mulai berkurang.
“Waktu itu, ketika kami menelpon anak saya Emil yang sekolah di Singkil, dia terkejut, senang. Sekarang kalau ada perlu apa-apa dengan dia, tinggal telepon aja. Tak seperti dulu, harus titip pesan sama orang yang ke Singkil atau pergi sendiri ke sana”, Cerita Pak Jul, salah seorang warga Desa Kuala Baru Laut, kepada penulis, tanggal 2 November, mengenai hari pertama mendapatkan sinyal bagi warga Kuala Baru tanpa perlu menggunakan antena khusus seperti yang selama ini digunakan.
Memang, akhir Oktober hingga minggu pertama November 2008 masih merupakan masa percobaan bagi salah satu operator telepon seluler untuk menjajal kemampuan pemancarnya. Operator seluler lainnya belum merampungkan pembangunan pemancarnya. Penulis sendiri ketika datang kembali ke Kuala Baru, tanggal 2 November, masih merasakan kemudahan berkomunikasi dengan “dunia luar” Kuala Baru. Tanggal 3 November, tengah hari, tiba-tiba sinyal salah satu operator seluler mati. Warga pun mulai mengeluh dan bertanya-tanya.
Didorong rasa penasaran dan memang kebutuhan untuk segera bisa kembali berkomunikasi dengan pihak di luar Kuala Baru, beberapa dan penlis mendatangi stasiun pemancar. Kebetulan, di situ ada 4 pekerja. Dua pekerja sedang memanjat pemancar. Sedangkan dua lainnya terlihat menggulung kabel. Setelah bertanya mengapa sinyal tiba-tiba pada hari itu mati, salah seorang pekerja menyatakan bahwa matinya sinyal itu dikarenakan ada salah satu alat yang rusak pada mesin. Untuk menggantinya harus menunggu kiriman dari Medan. Paling itdak dibutuhkan waktu minimal seminggu untuk memperbaiki dan berfungsi kembali.
“Ya Bang, kebetulan ada alat yang rusak. Saya tidak tahu namanya. Kebetulan yang tahu nama alatnya dan tadi melapor ke kantor Medan, si Rudi, sedang naik (memanjat pemancar-pen). Kami tidak berani berjanji selesai berapa hari Bang. Mungkin sekitar seminggu karena yang dari Medan juga harus menunggu kiriman dari Jakarta.”, jawab Toni, salah satu pekerja yang ada, menerangkan sebab kematian stasiun pemancar.
Perasaan kecewa terpancar dari wajah warga. Tetapi, paling tidak rasa penasaran itu sudah terjawab. Kuala Baru kini dalam penantian untuk bisa berkomunikasi kembali dengan “dunia luar” secara lebih mudah, hemat waktu, biaya dan tenaga.
*****
Sejak dirampungkannya pembangunan stasiun pemancar telah membawa perubahan. Menggeser fondasi dan wajah dinamika ekonomi, sosial masyarakat. Perubahan situasi sosial di pemakaman dan roda perputaran ekonomi warga menggambarkan pergeseran tersebut.
Pemakaman kini menjadi sepi. Tidak seperti sebelumnya dimana lokasi pemakaman sering didatangi oleh orang yang secara khusus datang mencari sinyal telepon seluler. Dari pagi hingga malam menjelang sholat Isya, ada saja orang yang datang untuk bertelepon-teleponan dan atau berkirim-kiriman pesan pendek (Short Message Services).
Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kemampuan ekonomi masyarakat setempat. Tidak semua orang memiliki uang untuk membeli antena telepon seluler khusus yang dapat dipasang di rumahnya. Menurut data BPS Aceh Singkil tahun 2006, sekitar 90 persen dari jumlah penduduk tergolong penerima Raskin. Sinyal melalui antena khusus inipun hanya dua hingga tiga titik sehingga terkadang suara yang kita dengar terputus-putus ketika sedang menerima telepon. Bahkan, tidak jarang pula, mengirim SMS pun mesti dilakukan berulang kali, baru terkirim.
Sementara pemakaman, selain tidak memerlukan biaya juga menawarkan kelebihan lain. Sinyal di wilayah pemakaman, terutama di titik-titik lokasi tertentu, selalu penuh. Menelepon atau mengirim dan menerima SMS terasa seperti di kota yang tidak pernah terhambat masalah sinyal.
Kecamatan Kuala Baru yang terletak di kawasan pantai barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memang termasuk ke dalam kategori tertinggal dan sedikit terisolasi. Kecamatan berpopulasi sekitar dua ribu delapan ratus jiwa yang termauk ke dalami enam ratusan Kepala Keluarga (BPS:2006) ini hanya dapat dijangkau oleh sarana transportasi sungai. Melewati sebagian kecil muara Sungai Alas. Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam naik robin (perahu bermesin tempel-pen) dari ibu kota kabupaten, Singkil, untuk sampai ke Desa Kuala Baru Laut, ibu kota Kecamatan. Jika menggunakan Speed Boat hanya memakan waktu sekitar 15-20 menit. Namun, tidak ada fasilitas transporatsi umum Speed Boat yang tersedia. Speed Boat hanya dimiliki oleh Camat, Kepala Puskesmas, Kepala Polisi Sektor Kecamatan Kuala Baru.
Lebih dari 80 persen penduduk kecamatan ini bekerja sebagai nelayan. Paling tidak menggantungkan hidupnya terkait pada sektor laut. Hanya sekitar 45 warga yang bekerja sebagai petani padi. Sebagian dari jumlah tersebut adalah janda korban konflik Aceh. Jumlah ini terbagi menjadi dua kelompok tani. Dalam musim-musim tertentu, masa antara menanam dan memanen, sebagian dari mereka – tidak termasuk janda – pergi memancing ke laut untuk mencari penghasilan tambahan menopang kebutuhan keluarga.
*****
Investasi pembangunan stasiun pemancar telah memberikan warna dan tenaga baru bagi kegiatan perekonomian masyarakat lokal. Menciptakan peluang ekonomi alternatif bagi warga. Pada saat tahap konstruksi misalnya, warga kebagian rezeki dengan ada yang menjadi buruh pembangunan pemancar, mensuplai pasir untuk penimbunan fondasi, penyewaan perahu untuk mengangkut material bangunan.
Dalam tahap penimbunan lahan pemancar misalnya. Kegiatan ini pada salah satu pemancar operator seluler nasional memakan waktu sekitar 3 bulan. Dimulai bulan Maret 2008. Untuk menimbun rawa sedalam 3 meter dengan ukuran luas lahan sekitar 40 x 50 meter ini membutuhkan beratus-ratus meter kubik pasir. Maklum, di daerah ini tidak ada tanah yang dapat digunakan untuk menimbun. Dengan harga sekitar Rp 30.000/meter kubik, maka puluhan hingga ratusan juta rupiah yang diserap warga lokal hanya dari kegiatan penimbunan.
Apalagi melihat bahwa sebagian pasir itu tidak dibeli dari luar daerah. Melainkan hanya mengambil pasir yang ada di sepanjang pantai di luar wilayah pemukiman penduduk alias gratis. Peraturan adat lokal melarang siapapun untuk mengambil pasir pantai di sepanjang wilayah pemukiman. Karena besarnya perkiraan keuntungan yang didapat dari menyuplai pasir ini, salah seorang warga yang sering dipanggil Pak Jul – pemilik gudang dan pedagang ikan – pernah meminta bantuan penulis untuk mencarikan mobil pick up bekas. Menurutnya, menggunakan mobil pick up akan lebih hemat dan mendatangkan keuntungan lebih banyak sebab yang lainnya hanya menggunakan becak barang yang memiliki kapasitas maksimal setengah meter kubik.
Ini belum memperhitungkan aktivitas lainnya, misalnya jasa transportasi pengangkutan material bangunan seperti semen, besi dan lainnya. Sewa kapal untuk sekali jalan mengangkut material dari Pelabuhan Kilangan di Singkil ke Kuala Baru, pemilik kapal bisa mendapatkan keuntungan ratusan ribu rupiah. Tidak ada ketetapan harga baku. Tergantung kesepakatan tawar menawar antara penyewa dan pemilik kapal.
Contoh kasus lainnya adalah pada pemilik tanah yang lahannya dibeli oleh operator seluler. Mereka mendapatkan sumberdaya untuk menciptakan sumber ekonomi alternatif. Muslim, penduduk Desa Kuala Baru Laut, misalnya. Operator seluler membeli tanah miliknya seharga Rp 80.000.0000. Saat ini, sebagian dari uang tersebut, telah ia investasikan membangun sebuah penginapan kecil-kecilan di Kuala Baru. Ia memutuskan untuk membangun ini karena selain belum ada satu pun usaha penginapan di Kuala Baru, juga karena ada salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang sedang melakukan usaha pengembangan ekowisata rawa di kawasan Suaka Marasatwa Rawa Singkil. Kuala Baru memang berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa yang diduga sebagai habitat tertinggi untuk populasi Orang Utan Sumatera (Pongo abelii) dan burung migran.
“Karena ada program itu (pegembangan ekowisata-pen), saya yakin di sini akan membutuhkan penginapan misalnya untuk turis yang akan datang melihat keindahan dan keunikan kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Karena itu, dari uang penjualan tanah delapan puluh juta kepada operator, sebagiannya saya gunakan untuk membangun penginapan kecil-kecilan itu”, Muslim menerangkan alasannya.
Jelas, belum dapat dipastikan apakah rencana Muslim ini berhasil atau gagal. Namun, terlepas dari itu, investasi seluler di Kuala Baru telah memungkinkan ia memanfaatkan sekaligus menciptakan peluang sumber-sumber ekonomi alternatif bagi Kuala Baru dan dirinya. Muslim bisa begitu tidak dapat dilepaskan dari hadirnya operator seluler yang telah membeli tanahnya.
Kini, setelah pemancar itu rampung, warga mulai membuka usaha yang berkaitan dengan telepon seluler. Membuka warung pulsa dan menjual berbagai pernak-pernik telepon seluler dari berbagai merek menjadi favorit. Tidak kurang, sudah ada 7 usaha baru yang muncul sejak dirampungkannya pemancar baru itu. Memang sebelum ada pemancar itu telah ada juga warung yang menjual pulsa. Namun, praktis sulit beroperasi karena sinyal yang ada sering timbul tenggelam. Dengan adanya pemancar maka sinyal semakin mantap. Usaha kecil-kecilan yang berkaitan dengan telepon seluler menjadi laris manis bak kacang goreng.
Ambil contoh adalah Ati, penduduk Kuala Baru Sungai. Sebelum ada pemancar, ia mengandalkan kedai sekaligus warung kopinya sebagai sumber penghasilan menopang kebutuhan keluarganya. Kini, ia melengkapi usahanya dengan turut menjual pulsa. Memang keuntungan yang didapatkannya tidaklah terlalu besar. Setiap harinya, rata-rata paling mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 20.000. Tergantung banyaknya orang mengisi pulsa di warungnya. Biasanya orang banyak mengisi pulsa pada saat-saat banyak menangkap ikan. Tidak ada waktu yang pasti untuk hal ini. Tergantung besar kecilnya ombak laut.
“Tidak besar, dari menjual pulsa rata-rata paling cuma dua puluh ribu. Kalau dari asesoris sebetulnya jarang yang beli, jaga-jaga saja, siapa tahu ada yang beli. Tapi, yang nggak mahal. Cuma sarung handphone, tali, baterai, ear phone, casing. Kita nggak berani buat stok banyak-banyak”, Ati menerangkan.
Kuala Baru kini memasuki babak baru dalam sejarahnya. Kehadiran invetasi oleh operator seluler beserta turunan produknya sedikit banyak telah memberi sumber daya, tenaga, gairah, warna dan peluang ekonomi alternatif bagi masyarakat. Ati, Muslim, Pak Jul hanyalah sedikit tokoh yang mewakili kisah itu. Kuala Baru masa depan mungkin tidak berarti sektor jasa telekomunikasi akan memposisikan diri menggantikan peran sektor perikanan dan pertanian yang selama ini menjadi tumpuan. Namun, terus menciptakan peran dan nilai tambah bagi sektor perikanan, pertanian, potensi ekonomi lokal lainnya adalah pekerjaan rumah dari sektor komunikasi telepon seluler sehingga akan terus tercipta Ati dan Muslim lainnya, baik di Kuala Baru maupun daerha lainnya di Indonesia.
* Penulis adalah pekerja sosial pada salah satu LSM di Medan, penulis lepas. E-mail: jokoguntoro@gmail.com
diterbitkan Des 31, 2008 @ 7:58