Kesejahteraan Warga Republik Dalam Transisi

Oleh : Joko Guntoro*

“Tanah air ku aman dan makmur, Pulau kelapa nan amat subur…” (cuplikan lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa)

“Sekarang bayar ujian Rp 370.000. Belum keliatan duitnya dari mana. Pengennya sih sekolah diterusin, tapi kayaknya nggak sanggup… Sayang, pada putus sekolah. Tapi duitnya memang nggak ada. Terpaksa. Mau nyari bantuan, ke mana? Sedih, sih sedih! Tapi apa boleh buat, nggak ada ongkos.”(Desylanhi, Liza, Perempuan-perempuan Kereta, download dari www.vhrmedia.net)Dua kutipan di atas menggambarkan betapa kontrasnya kondisi kesejahteraan anak bangsa. Melalui tulisan ini penulis ingin menyatakan bahwa kesejahteraan warga Republik sedang berada dalam tahap transisi dan rawan. Jika kondisi ini tidak direspon dengan bijak dan tepat tidak hanya akan cenderung membahayakan keberlanjutan kesejahteraan warga, juga berimplikasi terhadap keberlanjutan eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kerawanan tersebut dapat dilacak ke dalam tiga elemen besar.

Pertama, relasi prilaku trisektoral antara negara, pasar dan masyarakat sipil/komunitas. Hal ini berkaitan dengan aspek demokrasi dalam pembuatan kebijakan, terutama aspek hak penguasaan dan distribusi sumberdaya. Kedua, pergeseran nilai-nilai kultural sekaligus melemahnya institusi jaminan sosial tradisional. Ketiga, mahal dan rendahnya cakupan jaminan sosial yang disediakan oleh negara. Membicarakan negara kesejahteraan maka tidak dapat dilepaskan kondisi keterjaminan sosial yang diberikan oleh negara terhadap warganya. Sebagaimana disebutkan oleh Spicker (2002:6) “The welfare state is an attempt to break away from the stigma of the Poor Law. It was not designed for the poor, it was supposed to offer social protection for everyone, to prevent people from becoming poor”.

Kemelaratan di Tengah Keberlimpahan : Runtuhnya Hak Komunitas Lokal

“Lirih dan menyesakkan dada!”. Begitulah kalimat yang pantas di disandangkan kepada Republik yang baru saja mengadakan perhelatan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-62 kalau melihat kenyataan yang ada. Betapa tidak melirihkan dan menyesakkan dada, sekitar 100 juta penduduk yang bertahan hidup dengan penghasilan kurang dari US $ 2 per hari. Ini berarti sekitar 49 % atau separuh populasi nasional termasuk miskin. Selain itu, sekitar 40 % orang tua tidak dapat menyekolahkan anaknya hingga SLTP (secondary school) (laporan World Bank tahun 2006). Tidak kalah menyedihkan adalah misalnya pada tahun 2006 dtemukan kasus sebanyak 432 kasus balita kurang gizi di kota Medan dan antrinya warga Banda Aceh yang hendak berobat ke RSU Zainoel Abidin karena kurangnya petugas loket (Harian Analisa, 19 Maret 2007). Padahal Kota Medan memiliki PDB yang cukup besar. Logikanya, sangat memalukan jika daerah yang memiliki pendapatan besar tetapi tetap terjadi permasalahan yang sesungguhnya klasik – kurang gizi. Ini hanya pantas terjadi di masa penjajahan kolonial. Secara nasional, berdasarkan laporan pencapaian MDG’s Indonesia tahun 2004, persentase anak balita yang termasuk kategori gizi kurang dan parah umumnya meningkat dari 24,7 persen pada tahun 2000, menjadi 27,5 persen pada tahun 2003.

Memang benar bahwa negeri ini kaya raya. Namun, kekayaan itu justru lebih banyak dinikamti oleh kaum pemilik kapital dan elit kekuasaan. Sementara hak-hak rakyat kebanyakan diabaikan. Misalnya saja hak-hak masyarakat lokal/adat dalam menghadapi korporasi atau negara dalam pembentukan taman nasional. Sering kali akuisisi lahan oleh usaha pertambangan menimbulkan kerawanan sosial ekonomi di masyarakat. Masuknya usaha pertambangan skala besar akan menyebabkan inflasi, sementara pada saat bersamaan lahan rakyat yang menjadi sumber penghasilan warga telah diakuisisi perusahaan.

Cerita yang tidak jauh berbeda adalah dalam kasus pembentukan taman nasional. Dalam studinya terhadap empat taman nasional, salah satunya Taman Nasional Gunung Leuser, Purwanto (2005 : 284) berkesimpulan “kasus-kasus yang terjadi di keempat taman nasional menunjukkan bahwa status sebagai anggota masyarakat asli atau yang bertempat tinggal di sekitar taman nasional tidak secara otomatis akan mendapatkan keuntungan dengan adanya taman nasional…nampaknya kuatnya dominasi negara menyebabkan adat termarginalisasikan”.

Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak rakyat, catatan akhir tahun kondisi HAM 2006 tentang pemenuhan hak sosial, ekonomi dan budaya, komnas menyatakan “ Penderitaan banyak orang di beberapa daerah karena busung lapar yang menunjukkan tidak dipenuhinya hak mereka atas pangan dan atas kesehatan”. Negara yang seharusnya berkewajiban melindungi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya warganya justru terkadang berperilaku sebaliknya dan memproduksi kemiskinan. Negara berkolaborasi dengan pemilik kapital cenderung mendominasi dalam pembuatan kebijakan. Dengan kata lain, demokrasi pembuatan kebijakan belum berjalan dengan baik.
Instisusi Tradisional : Terbatas dan Semakin Pudar
Fenomena monetisasi dan individualisasi ini turut berdampak terhadap ketersediaan jaminan sosial informal. Berdasarkan penelitiannya, Abdullah (1998) menyatakan “…bahwa mekanisme tolong menolong merupakan suatu institusi informal yang terikat pada nilai-nilai moral dan solidaritas kelompok, yang cenderung membentuk lingkaran yang semakin mengecil dari waktu ke waktu… Ikatan –ikatan moral dalam wujud solidaritas sosial sesungguhnya dilandasi oleh suatu “kepentingan” individual yang pada saat kepentingan itu sendiri berubah maka mekanisme jaminan sosial juga mengalami perubahan” . Abdullah juga mencatat bahwa keluarga dan tetangga masih memainkan peranan penting dalam memberikan bantuan. Tetapi penting dicatat adalah mekanisme tradisional lebih bersifat sukarela, aspek keberlanjutannya yang tidak pasti, besar kecilnya penerimaan tergantung kepada luas tidaknya hubungan/jaringan sosial.

Selain itu, fenomena kontemporer juga ditandai oleh meningkatnya nilai dan kultur ketidakpedulian (social ignorance) dan menurunnya nilai-nilai kebersamaan. Tetangga yang mati dan baru ketahuan berhari-hari setelah menimbulkan bau busuk, anak sekolah bunuh diri karena tidak sanggup mambayar SPP, anak sekolah yang berseragam compangcamping dan ketiadaan buku, balita tetangga kurang gizi, semuanya luput dari perhatian. Ini semua menandakan meningkatnya nilai dan budaya ketidakpedulian sosial (social ignorance).

Jaminan Sosial Modern : Jauh di Awang-awang

Faturochman (1996) yang menyatakan bahwa mekanisme social security berkembang dari kekerabatan ke negara terus ke individu. Pernyataan ini mencerminkan pengalaman tahapan di negara-negara maju, tetapi kurang tepat untuk kasus Indonesia. Memang dengan mudah dilihat bahwa pendulum prasyarat negara kesejahteraan yaitu adanya jaminan sosial yang disediakan negara terhadap penduduknya semakin bergerak ke arah privat. Sampai dengan saat ini, negara melalui UU No 40 Tahun 2004 tentang jaminan sosial hanya memberikan jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun dan kematian. Tetapi cakupannya masih sangat terbatas. Jaminan tersebut belum menyentuh sektor pekerja informal. Data jamsostek menyebutkan bahwa sampai dengan tahun Agustus 2005 hanya sebesar 77.692 perusahaan dan 7.441.416 pekerja yang aktif terdaftar sebagai peserta. Sedangkan sebanyak 66.014 perusahaan dan 11.009.090 pekerja terdaftar nonaktif.

Sementara itu, untuk sektor pendidikan dan kesehatan setali tiga uang. Menurut data Bank Dunia 2006, sekitar 40 % orang tua tidak dapat menyekolahkan anaknya hingga tingkat secondary school. Demikian pula halnya dengan sektor kesehatan. Banyak penduduk miskin yang belum tercakup oleh jaminan sosial formal yang disediakan oleh negara. Menurut Lindenthal (2004, dalam Triwibiowo dan Bahagijo, 2006) hanya sekitar 15 persen populasi nasional yang tercakup oleh jaminan sosial kesehatan. Program Askeskin yang disediakan oleh negara patut mendapatkan catatan.
Pertama, penetapan batas garis kemiskinan yang tidak realistis. Kedua, kemiskinan adalah sesuatu yang mengalami pasang surut. Seseorang hari ini termasuk ke dalam kategori kaya atau berada sedikit di atas garis kemiskinan, tetapi karena krisis, misalnya saja karena gagal panen bagi petani, ia tiba-tiba termasuk ke dalam kategori miskin. Perlu diperhatikan adalah seberapa cepat aspek administrasi (penetapan kategori miskin, dll) mengantisipasi kaum vulnerable ini sehingga si mereka tidak perlu menunggu terlalu lama untuk mendapatkan pelayanan.
Ketiga, cakupannya yang belum universal. Bagi golongan berduit tentu saja dapat mencari social security dengan membeli dari sektor privat. Tetapi tidak demikian bagi si miskin. Permasalahannya dikarenakan kontribusi yang harus dibayarkan masih terasa berat. Selain itu, mereka memang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang cukup untuk membeli layanan tersebut. Fenomena ini seperti yang diungkapkan oleh Beckman (1998:45) bahwa social securirity modern ternyata memang hanya memberikan akses kepada kelompok bergaji di sektor modern. Negara yang diharapkan menjamin warganya ternyata bersikap tidak peduli. Bayangkan, pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan dana sekitar 37 trilyun rupiah untuk sektor pendidikan dan 10,8 trilyun untuk sektor kesehatan. Sementara pada saat bersamaan mengalokasikan dana 73 trilyun untuk membayar hutang (Siaran pers INFID).
Epilog
Negara seharusnya menciptakan kondisi keterjaminan sosial bagi warga negaranya aar tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang lebih parah dan berusaha mengangkat araf hidup warga negaranya. Ini adalah fondasi moral republik. Tetapi jauh panggang dari pi. Perilaku negara justru lebih memproduksi kemiskinan dengan menyingkirkan kmunitas lokal terhadap sumberdayanya. Sementara pada saat bersamaan, institusi trdisional juga tergerus oleh modernisasi, monetisasi dan individualisasi. Mekanisme social security formal belum dapat melindungi masyarakat dari ancaman terhadap sumber pndapatannya bahkan cenderung mengganti/merusak mekanisme tradisonal (Midgley:1984).

Dalam kondisi demikian, negara bukannya melindungi warganya dengan mnciptakan mekanisme formal yang mencakup seluruh warga, terutama kaum miskin dan entan. Anggaran negara lebih banyak dikorupsi, dibelanjakan untuk hutang, membiayai brokrat dan aparatur negara yang tidak produktif dan untuk kegiatan tidak produktif ainnya, misalnya studi banding DPR/DPRD yang tidak perlu. Dalam kondisi penuh erawanan dan kemiskinan tersebut, untuk mewujudkan negara kesejahteraan,mengambalikan demokrasi penuh kepada rakyat dan menciptakan birokrasi yang efisien an efektif urgen untuk dilakukan. Segala proses pembuatan kebijakan publik harus artisipatif, akuntabel, transparan. Namun, di atas semua itu adalah seberapa besa komitmen pemerintah untuk melaksanakan konstitusi. “ Pemerintah, berani mencoba?”.

*Pemerhati kajian bisnis – masyarakat dan kesejahteraan. Alumnus Jurusan Ilmu Sosiatri (Social Development) Fispol UGM dan Manajemen FE UII Yogyakarta. Email : jokoguntoro@gmail.com. Dipublikasikan di Harian Analisa pada medio tahun 2007.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *