Menanam Benih Kepemimpinan Sadar Hutan
Oleh : Joko Guntoro
Beberapa bulan lalu, tepatnya dari awal hingga akhir Agustus 2008, kebetulan saya menemani seorang mahasiswa peneliti sekaligus sukarelawan dalam program ekowisata. Namanya Anett Kirchbichler. Ia mahasiswa dari salah satu universitas di Kota Erfut, Jerman, jurusan konservasi. Ia bermaksud melakukan penjajagan terhadap program ini untuk bahan tesisnya sekaligus ikut bekerja sukarela mengembangkan program, baik dari segi saran pemikiran maupun tenaga. Selama sebulan tersebut, kami bekerja bersama kelompok penduduk lokal, mulai dari pembuatan taman sederhana di halaman pondok dengan menanam tanaman dari hutan, memperbaiki kerapian bangunan hingga saling belajar bahasa masing-masing. Anett belajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Karo. Sedangkan saya dan penduduk lokal belajar Bahasa Inggris dan Jerman. Proses tersebut dalam suasana ceria, tawa walau cukup melelahkan bagi semuanya.Suatu ketika, saya dan penduduk lokal bertanya daerah mana yang paling ia sukai dan cintai sebagai tujuan wisata, ia menjawab: pertama Andaman, India, kemudian hutan tropis Indonesia khususnya di daerah Tangkahan – daerah yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Kunjungan kali ini ternyata merupakan kunjungan yang ke lima baginya dalam 3 tahun terakhir. Karena penasaran, saya dan penduduk kembali bertanya mengapa ia menyukai kedua lokasi ini. Ia menjawab, di Andaman ia bisa menemukan ketenangan dengan sikap penduduk yang bersahabat, lautnya yang biru, hamparan pantai berpasir putih dan karena di sana tidak penuh sesak dengan turis. Sedangkan di hutan tropis, ia dapat menemukan keanekaragaman hayati (satwa dan tumbuhan) yang unik, lucu, bermanfaat, misalnya Orangutan dan Harimau, tumbuhan yang berdaya guna sebagai obat seperti Gagatan Harimau, dan sebagainya. Ia juga sangat menikmati susana sejuk, kesegaran udara dan ketenangan yang ditawarkan hutan tropis. Intinya, selain mendapatkan “pengalaman intelektual” tentang kekayaan keanekaragaman hayati yang ada, ia juga seperti mendapatkan “kepuasan spiritual”. Ia menemukan “dunia lain” di hutan tropis.
Sementara itu, bagi sebagian penduduk lokal, sebagian satwa tersebut dipandang sebagai pengganggu yang sering mengakibatkan kerugian dari sisi ekonomis, misalnya saja Orangutan yang sering memakan durian, petai milik penduduk. Demikian pula Harimau yang terkadang memakan ternak mereka di kebun. Hutan pun terkadang dipersepsikan tidak lebih sebagai kumpulan pohon tempat satwa “tidak berguna”. Tidak ada insentif di dalamnya. Kalau saja tidak ada peraturan yang melindungi kawasan ini, mungkin dapat dipastikan hamparan hijau hutan ini telah digantikan oleh hamparan hijau sawit dan atau karet.
Tetapi, bukan kisah tentang kegiatan teman saya, Anett, dan penduduk lokal yang ingin saya ceritakan. Apa yang ingin saya kemukakan dalam tulisan ini adalah pentingnya proses penyadaran terhadap pelestarian alam. Anett, penduduk lokal dan hutan hanyalah sebuah kisah kecil dari kisah besar mengenai proses tersebut.
Kesadaran
Menurut Sartre (2000), kesadaran merupakan kesadaran terhadap sesuatu. Ia bukanlah kesadaran kosong. Oleh karena itu, kesadaran melibatkan sesuatu yang lebih dalam dari pada sekedar mengetahui. Saya kira banyak orang memahami bahwa membuang sampah sembarangan di jalanan dan sungai akan merusak kualitas air serta lingkungan, tetapi toh mereka juga masih sering melakukannya. Ini artinya mereka tidak sadar, walau mengetahui. Kesadaran itu melibatkan dimensi yang lebih “dalam”. Kedalaman itu merupakan hasil interaksi intensif antara satu pihak dengan pihak lainnya yang dianggap ada dan terwujud dalam pengetahuan sehari-hari.
Bagi Patrick Berger dan Thomas Luckman (1990) apa yang dinamakan pengetahuan sehari-hari itu merupakan hasil proses dialektis antara manusia dengan kenyataan sosial. Proses dialektis itu melibatkan proses internalisasi, objektifikasi dan eksternalisasi yang tiada putus. Proses internalisasi merupakan “momen” dalam proses dialektika pembentukan kenyataan sosial dimana sosialisasi terjadi. Sosialisasi adalah proses dimana seseorang memahami realitas dunia – norma, adat, aturan, pengetahuan, kepercayaan dan sebagainya. Sosialisasi merupakan proses yang tidak pernah lengkap bagi seseorang. Oleh karena itu, realitas tidak sepenuhnya utuh ditangkap atau dipahami seseorang. Antara satu orang dengan orang lainnya memiliki tingkat internalisasi kenyataan yang berbeda walau kenyataan itu sendiri adalah tunggal. Apa yang diasumsikan sebagai kenyataan itu adalah apa yang disebut sebagai objektifikasi. Kemudian, dalam menanggapi apa yang dianggap nyata, seseorang akan berusaha membentuk atau mempengaruhi kenyataan yang ada. Inilah yang disebut sebagai eksternalisasi.
Dengan demikian, maka ketika kita menyebut “seseorang harus sadar kelestarian lingkungan” kita bermaksud mengatakan kepada orang tersebut harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip pemanfaatan Sumber Daya Alam, misalnya hutan, secara berkelanjutan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah apa yang dimaksud dengan “prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan” tersebut?. Jika kembali ke dalam perspektif teoritik Berger dan Luckman, prinsip-prinsip ini dapat tidak lain adalah “pengetahuan sehari-hari” tersebut.
“Pengetahuan sehari-hari” inilah yang menjadi basis bagi pembentukan kesadaran tindakan perilaku manusia. Pengetahuan ini pula yang melahirkan perbedaan antara tindakan masyarakat kota dibandingkan tindakan masyarakat adat terhadap hutan. Masyarakat adat menganggap hutan sebagai aset kehidupan sehingga perlu dimanfaatkan sekaligus perlu dilestarikan. Aset kehidupan tidak berarti dimensi ekonomis semata, tetapi juga memiliki aspek religio-magis, seperti kearifan pengelolaan lingkungan yang ditunjukkan oleh masyarakat Angkola/Mandailing di Sumatera Utara (Lubis, 2003). Itu sebabnya masyarakat adat sangat ketat mengatur pemanfaatan hutan. Ini dilegitimasi oleh indigenous knowledge atau pengetahuan lokal mereka. Sementara masyarakat kota hanya cenderung melihat hutan sebagai aset ekonomis.
Pengetahuan Mensyaratkan Sosialisasi
Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa kesadaran itu mensyaratkan apa yang disebut sebagai pengetahuan sehari-hari. Kemudian pertanyaannya, dari manakah sumber pengetahuan tersebut? Bagaimana terbentuknya pengetahuan tersebut?. Untuk ini, perlu kembali kepada proses dialektika pengetahuan yang telah dikemukakan oleh Berger dan Luckman (1990) yaitu internalisasi, objektifikasi dan eksternalisasi.
Pengetahuan itu tidak lahir dari sumber antah berantah, tetapi melalui proses sosialisasi intensif antara manusia dengan sumber pengetahuannya. Sumber pengetahuan ini berfungsi menyediakan bahan adonan bagi lahirnya pengetahuan. Sumber pengetahuan ini adalah “lingkungan terdekat” bagi seseorang yang menjadi basis sosialisasinya. Bagi masyarakat petani di desa, lingkungan terdekat mereka adalah sawah, irigasi beserta kelengkapan teknologi yang dapat ditemukan di sekitar mereka bertempat tinggal. Bagi masyarakat kota, mobil, gedung-gedung pencakar langit, beserta kemajuan alat teknologi informasi adalah lingkungannya.
Hanya dalam pengertian seperti ini dapat ditemukan konteks arti dari kata-kata bijak “seseorang adalah produk lingkungannya”. Sosialisasi melalui interaksi antara masyarakat petani atau masyarakat adat dibandingkan dengan interaksi antara masyarakat kota terhadap hutan hutan tentu melahirkan tingkat pengetahuan dan kesadaran yang berbeda dalam memaknai hutan.
Pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses sosialisasi hanya akan melahirkan penghafalan. Seperti seorang anak rimba yang ditunjukkan gambar pesawat, katakanlah pesawat tempur F 16. Kemudian ketika ditanya tentang bentuk pesawat otomatis ia akan menyebutkan bentuk dan fungsinya dengan baik, tetapi hanya sebatas yang pernah ditunjukkan kepadanya yaitu F 16. Ketika ditanyakan tentang pesawat Airbus tentu ia akan diam karena memang ia tidak pernah tahu dan sadar mengenai adanya Airbus. Namun, ketika kita menanyakan kepadanya tentang jalan di hutan agar tidak tersesat tanpa peralatan canggih seperti Global Positioning System (GPS), mungkin ia akan menunjukkannya dengan cepat dan gamblang.
Adanya sosialisasi intensif ini pula yang melahirkan perbedaan memaknai (pengetahuan) hutan antara masyarakat pinggir hutan dengan masyarakat kota. Intensitas sosialisasi antara manusia dengan lingkungannya ini dapat diistilahkan sebagai “tingkat kelengkapan sosialisasi”. Masyarakat adat/masyarakat pinggir hutan akan memiliki “tingkat kelengkapan sosialisasi” yang lebih tinggi terhadap hutan dibandingkan mereka yang ada di kota sehingga cara pandang terhadap hutan juga berbeda. Masyarakat kota memandang hutan sebagai objek. Sedangkan masyarakat adat/masyarakat pinggir hutan memaknai hutan lebih sebagai entitas tersendiri yang perlu dihormati (Lubis, 2003).
Melengkapi Sosialisasi
Melengkapi sosialisasi terhadap hutan tidak lantas diterjemahkan dengan penyuluhan. Penyuluhan mengenai arti penting hutan itu penting, tetapi tidak cukup. Sosialisasi perlu dilakukan dengan meningkatkan interaksi terhadap hutan, tidak hanya bagi anak-anak saja, tetapi terhadap remaja dan orang dewasa juga.
Berger (1990) menyebutkan bahwa sosialisasi primer seorang individu terjadi ketika sesorang masih dalam usia anak-anak. Sementara itu Hurlock (1993) menulis bahwa masa usia pra-sekolah adalah periode keemasan dalam proses perkembangan anak karena di usia ini mereka mengalami kemajuan baik secara fisik, intelektual, sosial maupun emosional. Senada dengan pendapat Hurlock adalah Benyamin S. Bloom yang menyatakan bahwa 50 % dari potensi inteligensi anak sudah terbentuk di usia 4 tahun, kemudian akan mencapai 80% ketika anak berusia sekitar 8 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usia hingga 8 tahun adalah usia kritis ketika manusia mulai mengenal dan menyadari kehadiran lingkungan, mulai bersosialisasi mengenal norma, nilai, pengetahuan.
Oleh karena itu, mengenalkan pengetahuan konservasi lingkungan dan pelestarian hutan sejak usia dini bagi anak-anak merupakan tugas penting bagi semua pihak terkait. Terlebih bagi anak-anak yang tinggal di kota dimana tingkat interaksi langsung mereka terhadap hutan sangat rendah. Ini dilakukan untuk melengkapi sosialisasi mereka anak terhadap alam agar mereka dapat memiliki kesadaran bahwa hutan adalah aset kehidupan bagi mereka, bukan hanya sebagai aset ekonomis yang wajib dieksploitasi tanpa dijaga keberlanjutannya.
Memasukkan konservasi lingkungan dan pelestarian hutan sebagai salah satu mata pelajaran dalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), TK serta SD merupakan langkah strategis yang perlu dilakukan. Selain itu, tentu saja perlu diberikan penambahan fasilitas yang kondusif di lingkungan sekolah sehingga terbentuk suasana yang sungguh-sungguh menghargai lingkungan dan hutan. Sementara itu, bagi kalangan SMP dan SMU perlu juga memasukkan mata pelajaran konservasi dan pelestarian hutan. Bila perlu menjadikan isu ini sebagai kegiatan ekstrakurikuler tetap siswa. Fasilitas dan aturan sekolah yang pro konservasi juga perlu diciptakan. Sedangkan bagi masyarakat umum, membuat suatu “taman terbuka pengetahuan hijau” yang berfungsi sebagai tempat bersosialisasi dan bertinteraksi intensif dengan hutan dapat menjadi pilihan bagi pemerintah.
Namun, semua usaha ini – pengadaan fasilitas, kurikulum, kegiatan ekstrakurikuler, taman pengetahuan hijau – akan berakhir gagal jika tidak disertai sebuah proses dialogis antara manusia dan alam. Seperti yang dungkapkan oleh Paulo Freire bahwa pendidikan yang melahirkan kesadaran adalah sebuah proses pendidikan yang dialogis yang melibatkan teoritis dan praksis secara dialektis. Seperti juga yang tersirat dalam karya Berger dan Luckman bahwa pengetahuan sehari-hari sebagai basis pembentukan kesadaran itu merupakan hasil proses dialektika internalisasi, objektifikasi dan eksternalisasi tiada henti. Dengan fasilitas dan proses sosialisasi yang baik, mungkin akan lahir benih-benih individu yang sadar dan menghargai hutan seperti Anett dan penduduk lokal sebagaimana diceritakan di bagian awal tulisan ini – menjaga hutan dan memetik manfaatnya bagi kehidupan sekarang dan masa depan.