MENATAP MASA DEPAN PENYU LAUT SEBAGAI SALAH SATU PENYANGGA KEHIDUPAN MANUSIA
Oleh: Joko Guntoro*
Tubuhnya besar. Beratnya bisa mencapai hingga ratusan kilogram. Jalannya sangat lambat, terseok-seok di atas pasir. Ia mendarat ke pantai hanya untuk bertelur. Dalam 1 periode (biasanya 2 minggu), ia bisa naik ke pantai 4-6 kali untuk bertelur. Namun, tidak setiap kali ia naik ke pantai ia akan bertelur. Dari sekitar 6 kali pendaratan, mungkin ia hanya 1-2 kali bertelur. Bahkan, mungkin tidak bertelur sama sekali. Dalam sekali bertelur bisa ratusan butir. Namun, dari ratusan butir telur yang menetas menjadi tukik (anak penyu), hanya sebagian kecil saja yang dapat dewasa dan bertelur. Ia merupakan salah satu satwa warisan zaman purbakala.
Itu adalah gambaran singkat mengenai salah satu penyangga kehidupan laut dan umat manusia yang sangat penting – Penyu laut. Indonesia sendiri selain sebagai tempat peneluran juga berperan sebagai tempat penyu mencari makan dari 6 jenis penyu dari 7 jenis penyu laut yang ada di dunia (Ditjen PHKA). Jenis penyu tersebut adalah Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu tempayan (Careta careta), penyu pipih (Natator depresus) dan penyu lekang/abu-abu (Lepidochelys olivacea).
Populasi Penyu laut kini terancam. Diperkirakan lebih dari sekitar 7.700 ekor penyu menjadi korban penangkapan jaring atau pancing setiap tahunnya. Ini hanya dari penangkapan jaring dan pemancingan yang tidak disengaja di laut. Jika penangkapan secara sengaja dimasukkan, tentu angka tersebut akan menjadi jauh lebih besar. Penyu-penyu tersebut ada yang dijadikan santapan seperti sup penyu, makanan, perhiasan. Kehidupan mereka terancam akibat beberapa perilaku (jahil?) manusia. Ulah segelintir manusia kini tengah mengancam keseluruhan kehidupan manusia.
Ancaman Terhadap Penyu
Keberlangsungan hidup penyu menghadapi beberapa ancaman yang dapat datang baik dari perilaku manusia, maupun binatang dan alam. Namun, ancaman terbesar tetap datang dari tindakan dan perilaku manusia. Menurut Bangkaru (2008), aktivis dan pendiri Yayasan Pulau Banyak (YPB) yang peduli terhadap pelestarian penyu dan pengembangan ekowisata di Pulau Banyak, Aceh Singkil, tindakan dan perilaku manusia yang mengancam diantaranya adalah mengambil dan memperdagangkan telur penyu, mengkonsumsi daging penyu, memperdagangkan penyu untuk dijadikan santapan atau hiasan/cinderamata, membuang sampah di laut seperti membuang gabus putih ke laut yang jika termakan oleh anak penyu (tukik) akan menyebabkan kematiannya. Sea Turtle Survival League – salah satu LSM penyelamat penyu – juga menyatakan bahwa membangun tembok pengaman di pantai tempat penyu bertelur, adanya cahaya yang dapat menghalangi penyu untuk mendarat ke pantai untuk bertelur, adanya aktivitas manusia di malam hari di pantai tempat penyu bertelur, menyebabkan gangguan terhadap penyu.
Sedangkan ancaman alami datang dari siklus mata rantai makanan dalam ekosistem, diantaranya adalah biawak yang sering memakan telur penyu di pantai, kepiting yang sering memakan anak penyu di pantai. Kemudian, ketika di laut, anak-anak penyu juga harus bertarung menghadapi maut yang ditebar oleh Ikan Kerapu dan Hiu, dua diantara sekian pemangsa yang harus dihadapi anak penyu untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dari 100 butir telur penyu yang menetas, hanya sekitar 2 ekor saja yang dapat tumbuh menjadi dewasa dan bertelur. Penyu sendiri bertelur mulai usia sekitar 25 tahun! Ini pun hanya dilakukan oleh penyu betina. Sementara penyu jantan tidak bertelur.
Manfaat Nyata Penyu
Penyu merupakan satwa yang tidak cuma unik dan lucu, tetapi sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hanya dengan membiarkannya saja hidup bebas di alam, tanpa dicampuri oleh manusia, penyu memberikan banyak manfaat. Manfaat tersebut mencakup aspek peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui sektor perikanan (beserta efek penggandanya), menjaga keseimbangan mata rantai ekosistem, ilmu pengetahuan, pengembangan ekowisata.
Pertama, jasa ekosistem (keseimbangan lingkungan). Penyu berperan penting dalam menjaga keseimbangan di laut, misalnya saja apa yang dilakukan oleh Penyu Hijau (Chelonia m. mydas). Penyu yang memiliki jarak tempuh yang mencapai hingga ribuan mil laut ini berperan penting dalam menyebar nutrisi ke laut melalui kotorannya. Kotoran ini menjadi pupuk atau pakan bagi tumbuhan dan hean laut lainnya.
Kedua, peningkatan pertumbuhan ekonomi sektor perikanan. Penyu sesungguhnya memainkan peranan yang amat vital bagi ketersediaan ikan laut, misalnya saja Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) yang memakan Ubur-ubur. Ubur-ubur adalah binatang laut yang memakan anak ikan. Ini merupakan mata rantai makanan. Bila tidak ada Penyu Belimbing kemungkinan besar populasi Ubur-ubur akan semakin meningkat. Kelebihan populasi Ubur-ubur akan membahayakan populasi anak ikan. Akan semakin banyak anak ikan yang dimakan Ubur-ubur. Dikarenakan banyak anak ikan yang dimakan Ubur-ubur, maka ketersediaan ikan di laut akan semakin berkurang. Akhirnya ini akan memperkecil hasil tangkapan ikan nelayan. Terutama nelayan kecil yang tidak memiliki kapal untuk menangkap ikan di laut lepas.
Berbeda lagi halnya dengan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata). Penyu jenis ini adalah pemakan terumbu karang yang tidak sehat sehingga terumbu karang menjadi sehat kembali. Sehatnya terumbu karang menjadi sumber makanan yang baik dan menjadi tempat hidup (habitat) ikan berkembang biak. Pada akhirnya, ini akan menjadikan daerah tersebut menjadi sumber perikanan (lebih banyak ikan untuk ditangkap).
Ketiga, potensi pengembangan ekowisata atau ekonomi alternatif lainnya. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa penyu berperan penting menjaga kesehatan terumbu karang. Terumbu karang yang terjaga dengan baik, terlebih bila daerah tersebut memliki keindahan alam dan budaya yang mendukung, akan memberikan pemandangan bawah laut yang cukup indah. Ini berpotensi bagi pengembangan ekowisata. Snorkeling, menyelam (diving), bermain kayak (kayaking) dapat menjadi atraksi yang ditawarkan kepada wisatawan. Misalnya saja daerah Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil. Di daerah ini, selain menjadi satu-satunya program konservasi penyu di Sumatera, dilakukan oleh Yayasan Pulau Banyak (YPB) didukung oleh beberapa LSM internasional terutama Yayasan Ekosistem Lesatri (YEL) yang berbasis di Medan dan PanEco – salah satu LSM yang bermarkas di Swiss –, juga memiliki keindahan alam dan terumbu karang sehingga dilakukan pengembangan ekowisata (wisata berdasarkan konservasi, budaya setempat dan mengutamakan masyarakat). Sampai dengan saat ini, tercatat sekitar 2000 sarang telur yang telah (pernah) didata di Pulau Bangkaru, Pulau Banyak (YPB, 2008). Melalui ekowisata (wisata berdasarkan konservasi penyu, budaya dan masyarakat lokal), masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraan ekonominya, tanpa harus memusnahkan penyu.
Maggie Murmans (2007), peneliti sekaligus aktivis YPB mengungkapkan 2 skenario bagi penyu di Pulau Banyak. Skenario pertama, kondisi yang terjadi hingga 2-3 tahun lalu, yaitu mengambil dan menjual telur penyu. Dengan asumsi dapat dikumpulkan 1000 telur/bulan, berarti dikumpulkan 120.000 telur/tahun. Dengan asumsi harga per telur Rp 1000, maka dalam setahun hanya didapatkan hasil Rp 120.000.000. Hasil ini pun hanya dapat diakses oleh muspika, pemilik kontrak dan segelintir kecil anggota masyarakat yang menjadi pengurus. Jika ini dilakukan, dalam jangka waktu 5-10 tahun maka jumlah telur akan menurun hingga 0. Skenario kedua, dilakukan pengembangan ekowisata. Jika setiap eko-wisatawan dikenakan tarif masuk kawasan sebesar Rp 200.000, ditambah Rp 2.000.000 (dalam 5 hari) untuk transportasi keliling pulau-pulau kecil tersebar, konsumsi, akomodasi. Maka dalam 1 minggu diperoleh 2,2 juta/per turis. Dalam 1 tahun akan diperoleh sekitar 120 juta. Jika dalam 1 minggu ada 20 turis, dengan asumsi harga di atas, maka dalam 1 tahun akan diperoleh penghasilan sebesar 2,4 miliar rupiah! Sementara di waktu yang bersamaan penyu tidak mengalami kepunahan, masyarakat dapat beruntung dari usaha ekowisata, pemerintah mendapatkan keuntungan dari pendapatan pajak dan non-pajak. Masyarakat dapat mengakses internet pada www.acehturtleconservation.org dan www.sumatraecotourism.com untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ini.
Keempat, ilmu pengetahuan. Penyu dan habitatnya juga menjadi sarana bagi peningkatan ilmu pengetahuan manusia, misalnya melalui penelitian dan pengembangan. Menurut salah satu pendiri YPB yang sekaligus juga ahli ekowisata, Mahmud Bangkaru, penyu diketahui sebagai salah satu hewan yang tersisa dari zaman purbakala. Oleh karena itu, penyu mungkin dapat menjadi “pintu masuk” bagi umat manusia untuk mengetahui apa yang terjadi di masa lampau dan informasi penting lainnya. Ini sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama biologi dan lingkungan.
Penyu Sebagai Ramuan Kecantikan Adalah Mitos!
Pendapat yang beredar di kalangan masyarakat awam menyatakan bahwa dengan mengkonsumsi penyu dan atau telur penyu akan dapat menjadi ramuan obat dan kecantikan. Terutama di Cina dan Bali, penyu telah menjadi bulan-bulanan ditangkap, disantap, tergusur dari pantai, telurnyapun diambil. Bahkan di salah satu jalan di Kota Medan ada yang menyatakan bahwa terdapat penjualan produk menu santapan dari penyu seperti sup penyu. Padahal telah ada Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang melindungi semua jenis penyu.
Namun pendapat daging penyu dapat mempercantik atau obat adalah mitos. Bukan obat dan kecantikan yang akan didapatkan, tetapi penyakit yang dapat berisiko menimbulkan kerusakan lever. Salah satu penelitian Alonso Aguire dkk dalam EcoHealth Journal Consortium (2006, dikatakan bahwa “…produk Penyu Laut (seperti daging, organ tubuh, darah, telur, dll) merupakan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat di kebanyakan negara walaupun telah dilarang oleh peraturan. Bagaimanapun, mungkin terdapat bahaya (hazards) terkait dengan konsumsi ini dikarenakan adanya bakteri, parasit, biotoksin dan zat pencemar linkungan laut lainnya. Pengaruh kesehatan mengkonsumsi penyu yang terinfeksi oleh zoonotic pathogens yang dilaporkan diantaranya diarrhea, mual-mual (muntah) dan dehidrasi ekstrim sering berakhir di Rumah Sakit dan berakibat pada kematian. Tingkat logam berat dan campuran Organochlorine yang diukur pada Penyu laut sering berdampak pada gangguan syaraf (neurotoxicity), penyakit ginjal, kanker lever serta berpengaruh terhadap perkembangan janin dan anak”.
Epilog
Penyu merupakan satwa laut yang seharusnya dilindungi, tidak hanya oleh pemerintah, regulasi dan perjanjian internasional seperti yang telah dilakukan negara ini dengan menandatangai kesepakatan (Memorandum of Understanding) dalam Indian Ocean and South East Asian on Turtle Conservation and Convention on Migratory Species pada Agustus 2008 lalu dan penetapan peraturan lainnya. Tetapi, juga harus oleh setiap warga negara yang tinggal di negara ini. Produk hukum ini diperlukan, tetapi tidak cukup (necessary but not sufficient). Lebih dari itu adalah pengawasan pelaksanaan regulasi, penindakan hukum secara tegas, dan penyadaran terhadap mereka yang masih menangkap, memperdagangkan (dan mungkin bagi mereka yang mengkonsumsi) produk penyu.
Jika kecenderungan penurunan populasi penyu seperti sekarang terus berlanjut, maka diprediksi Penyu belimbing akan punah dalam 10 tahun mendatang dan Penyu sisik akan hilang dalam 7 tahun mendatang. Nasib Penyu Hijau juga tidak akan jauh berbeda. Hilangnya satwa ini akan berakibat bagi kehidupan manusia karena seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa penyu banyak memberikan manfaat dan salah satu penyangga kehidupan kita. Hilangnya penyu berarti hilangnya manfaat yang ada padanya dan hilangnya penyangga itu. Termasuk mengkonsumsi produk yang dihasilkan dari penyu. Mungkin produk penyu seperti sup penyu yang kita santap, cinderamata yang kita beli, bukan berasal dari Pulau Banyak, Aceh Singkil. Namun, sadarkah kita bahwa ini akan mempengaruhi sebagian kesejahteraan umat manusia lainnya seperti nelayan yang menggantungkan hidupnya pada ketersediaan ikan, mewariskan ilmu pengetahuan kepada anak-anak kita atau memang kita yang terlalu egois mengejar hasrat dan fantasi konsumsi tiada batas di dunia yang sumberdayanya terbatas?
(artikel ini telah diterbitkan di Harian Analisa edisi 2 dan 9 November 2008)
Freedom for Sea Turtles!
Salam kenal,
terima kasih atas komentarnya.
Freedom for Sea Turtle and Tortoises..
Semoga kita dapat melangkah dan bekerjasama untuk ini…
Salam,
SatuCita Institute
helo… sedih banget dengernya tentang keadaan penyu2 ini.
semoga kita sebagai manusia bisa lebih sayang sama alam dan habitatnya, dan ga “jahil”
nice article 🙂
Salam kenal,
Terima kasih atas komentanya. Ya, tentu sedih dan ngenes ketika mendengarnya, terlebih melihatnya.. Tetapi, sebenarnya, banyak cerita sedih lainnya.
Amin, semoga kita bisa lebih sayang, menghargai alam dan segala yang hidup di atasnya karena kita semua pada dasarnya satu, saling tergantung.
Oh ya, sekedar info. Dalam beberapa waktu ke depan, SatuCita Institute akan mengadakan program penyelamatam satwa Batagur Baska. Mungkin bisa berguna bagi teman-teman.
Salam
SatuCita Institute
Nice article
Let’s do together for save a penyu
terima kasih mbak/mas trie. mari sama-sama kita jaga demi masa depan kita.
Sharing; kegiatan penyelamatan Penyu di Kab. Selayar yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.
http://mwkusuma.wordpress.com/2013/06/11/dari-bersih-laut-hingga-nangkar-penyu/
terima kasih atas berbgai infonya. Semoga sukses untuk kegiatan pelestarian penyu di Kab. Selayar. Salut untuk masyarakat Kab. Selayar
Sangat Bermanfaat bagi saya, terina kasih
terima kasih atas komentar dan dukungannya!