Menebar Struktur Ekonomi “Insentif Hijau”: Menabur Benih Pelestarian Hutan

Oleh : Joko Guntoro

Dampak Pemanasan Global

Bumi semakin panas dan tidak menentu. Sejak revolusi industri yang terjadi sekitar pertengahan abad ke-19 hingga saat ini, suhu di bumi tercatat mengalami kenaikan sekitar 0,6 °C. Sejak 1850 hingga 2005 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan terjadi kenaikan temperatur global sebesar 0.76 Cº (IPCC WGI, 2007). Meskipun demikian, terdapat juga beberapa daerah yang mengalami kenaikan hingga 3°C. Fenomena pemanasan global (global warming) – meningkatnya suhu bumi akibat efek rumah kaca oleh gas CO2 – ini disebabkan antara lain oleh polusi udara yang ditimbulkan oleh sisa pembakaran akibat penggunaan bahan bakar fosil, pembakaran lahan, penggundulan hutan (deforestasi). Meningkatnya suhu bumi tersebut menyebabkan terjadinya perubahan musim/iklim. Perubahan musim/iklim pada akhirnya berdampak pada usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat, misalnya yang dialami oleh sektor pertanian dan perikanan. Meningkatnya suhu bumi telah meningkatkan serangan beberapa hama dan penyakit terhadap tanaman pertanian, misalnya meningkatnya serangan penyakit moler (twisting disease) pada Bawang merah, virus Gemini yang menyerang cabai. Walaupun belum diketahui secara pasti seberapa besar pengaruh perubahan suhu/iklim terhadap peningkatan populasi dan serangan penyakit serta virus tersebut, namun dapat diketahui bahwa iklim/suhu berperan penting meningkatkan populasi serta serangan penyakit dan virus tersebut (Wiyono, 2007). Sebagaimana konsep Segitiga Penyakit dalam Ilmu Tumbuhan menyebutkan bahwa penyakit hanya dapat terjadi jika didukung oleh tiga faktor yaitu patogen, inang dan lingkungan (suhu, kelembaban, cahaya, biotik) (Wiyono, 2007). Meningkatnya serangan hama dan penyakit ini menurunkan produktifitas pertanian dan pada gilirannya akan menurunkan kesejahteraan petani.

Selain pada sektor pertanian, sektor peternakan juga terimbas dampak perubahan iklim. Emil Salim (2007) dalam makalahnya berjudul “Implikasi Perubahan Iklim Pada Pertanian dan Kehati” mengidentifikasi beberapa akibat pada sektor perikanan yang disebabkan oleh perubahan iklim diantaranya: 1) mengurangi rumput pakan ternak sehingga menurunkan produksi ternak; 2) meningkatkan suhu laut sehingga mendisprusi pola pemberian pakan ikan. Ini akan mengurangi tumbuhnya plankton yang menjadi pakan ikan. Dikarenakan pakan ikan menyusut maka pada akhirnya ikan akan bermigrasi ke lautan utara; 3) naiknya permukaan air laut yang menghantam kawasan pesisir dan menyebabkan intrusi air laut ke air tanah sehingga dapat menimbulkan angin topan masuk lebih dalam ke daratan.

Menyusutnya Hutan

Panasnya suhu bumi yang menyebabkan berbagai bencana tersebut tidak terlepas dari buruknya kondisi pengelolaan hutan kita. Hutan yang berfungsi menetralisir suhu bumi melalui penyerapan karbon sehingga mengurangi emisi karbon dalam CO2 – zat yang menyebabkan pemanasan global – kini semakin gundul. Tercatat laju deforestasi di Indonesia sejak 1990-2005, menurut Little Green Data Book 2008 (World Bank, 2008), sebesar 1,8 % per tahun. Sedangkan antara 2000 dan 2005, dunia kehilangan hutan (net forest loss) sebesar 73 ribu kilometer persegi atau kira-kira seluas negara Chile setiap tahunnya (UNDP, 2007).

Akibat aksi penggundulan tersebut, emisi gas CO2 yang beredar di permukaan semakin besar sehingga menyebabkan suhu bumi terus meningkat. Masih menurut Little Green Data Book 2008, pertumbuhan emisi CO2 Indonesia sejak 1990-2004 adalah sebesar 76,8 % (World Bank, 2008). Ini merupakan angka yang cukup tinggi dan beberapa penyebabnya adalah pembukaan hutan secara besar-besaran, polusi akibat industrialisasi dan transportasi. Tinjauan yang dihasilkan oleh Nicholas Stern (dalam www.indonesia.go.id) memaparkan bahwa deforestasi yang terjadi di negara berkembang menyumbangkan emisi CO2 sekitar 20 % dari emisi global. Sementara itu karbon yang tersimpan di ekosistem hutan sekitar 4.500 Gt CO2. Cadangan ini lebih besar dibandingan yang tersimpan di atmosfer yang menyimpan sekitar 3000 Gt CO2.

Oleh karena itu, hutan menjadi penting untuk dilestarikan oleh semua kalangan karena ia berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia. Tidak hanya menyangga kehidupan dan berperan sebagai sumber pendapatan bagi sekitar 1,35 % angkatan kerja langsung dan 5,4 % angkatan kerja tidak langsung dari penduduk Indonesia. Namun, juga menopang perekonomian dan kehidupan sekitar 250 juta populasi nasional serta 6,538 miliar populasi global dengan jasa ekosistem yang diproduksinya diantaranya melalui perannya sebagai penetralisir iklim, “rumah pengetahuan” dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, penyimpan air bersih, penyangga stabilitas struktur tanah.

Namun, hutan yang seharusnya dilestarikan karena merupakan aset pembangunan malah diabaikan. Bagi sebagian besar kalangan, hutan masih dipersepsikan sebagai hambatan dalam pembangunan. Ini dicerminkan oleh berbagai praktek dan kebijakan dalam mengkonversi atau mengalihfungsikan kawasan hutan, misalnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Fenomena ini dilakukan baik oleh pemerintah, perusahaan swasta maupun rakyat. Kebijakan pemerintah, misalnya, dalam 5 tahun ke depan telah menyetujui untuk mengalihfungsikan hutan seluas 1 juta hektar menjadi perkebunan kelapa sawit (www.naturealert.org).

Kasus lainnya adalah pengalihfungsian Hutan Rawa Gambut Tripa yang membentang di perbatasan Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, menjadi perkebunan kelapa sawit. Hingga November 2007, luas kawasan hutan ini hanya tinggal sekitar 31.410 hektar. Ini berarti hanya separuh dibandingkan dengan luas kawasan hutan di awal 1990. Walaupun gubernur telah melakukan moratorium logging, namun sepertinya pengalihfungsian tetap terjadi (YEL-PanEco, 2008). Jika pengalihfungsian hutan rawa ini terus dilakukan, maka tidak menutup kemungkinan hutan ini beserta jasa ekosistem yang dihasilkannya akan musnah. Padahal Hutan Rawa Tripa berperan menjadi “benteng” bagi resiko bencana seperti tsunami, intrusi air laut, banjir, dll; memiliki keanekaragaman hayati diantaranya Orangutan, Siamang, White-handed Gibbon; menyimpan cadangan karbon yang cukup tinggi. Menurut pengukuran yang dilakukan oleh YEL, Hutan Rawa Tripa memiliki cadangan karbon sekitar 50-100 juta ton karbon.

Dengan pembukaaan dan pengalihfungsian hutan yang terus terjadi maka tidak terhitung berapa besar kita telah kehilangan potensi penyerap karbon (potensi bagi perdagangan karbon), keanekaragaman hayati misalnya Orangutan (pongoabelii), dan sumber ekonomi hutan yang hilang dalam sekali waktu ketika mesin-mesin sinso menebang pohon dan traktor-traktor membersihkan lahan demi mengejar pertumbuhan ekonomi perusahaan dan segelintir manusia. Mengejar pertumbuhan ekonomi (pendapatan) adalah pernyataan yang sering digunakan sebagai justifikasi tindakan pengalihfungsian hutan.

Menciptakan “Ekonomi Hijau”

Seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith “there are no free lunch (tidak ada makan siang gratis) atau ditulis oleh Garrett Hardin dalam Tragedy of the Commons (1968) bahwa “As a rational being, each herdsman seeks to maximize his gain. Explicitly or implicitly, more or less consciously, he asks, “What is the utility to me of adding one more animal to my herd?”. Setiap orang akan selalu mencoba mencari dan memaksimalkan insentif untuk dirinya sendiri dan bertanya “apa untungnya untuk saya?” atau berkata “jika kami dilarang memanfaatkan hutan, berikan alternatif!”. Komentar seperti ini sangat sering penulis alami ketika bertugas dilapangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekarang merupakan zaman ketika “rasionalitas intrumental” menjadi paradigma hidup. Kalkulasi biaya-manfaat mendominasi dan uang, akibat monetisasi, telah menjelma menjadi salah satu moralitas tindakan (Nugroho, 2001).

Selama ini, berdasarkan pengalaman penulis ketika berada di lapangan maupun mengamati kasus yang terjadi, sepertinya terdapat dua kutub perspektif yang seolah-olah tidak bisa didamaikan dalam mempersoalkan kepentingan ekonomi dan ekosistem. Kubu pertama, mereka yang berpendapat bahwa demi mengejar pertumbuhan ekonomi maka beberapa hal dapat dikorbankan termasuk mengorbankan hutan termasuk keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah para kebanyakan perusahaan perkebunan sawit yang mengkonversi hutan, penebang liar. Secara sederhana, mereka, baik eksplisit maupun implisit akan menyatakan “Lingkungan dan satwa memang perlu diselamatkan, tetapi manusianya juga perlu diselamatkan. Mengapa satwa tertentu lebih diutamakan/diselamatkan dibandingkan manusianya?”. Mereka melihat kedua kepentingan tersebut secara sepenggal-sepenggal, tidak dalam satu kesatuan yang utuh.

Kubu kedua, mereka yang melihat konservasi dan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan seiringan. Menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial tanpa perlu merusak hutan adalah hal yang mungkin dan bisa dilakukan. Ambil contoh kasus adalah pengembangan ekowisata di Tangkahan dan pengembangan ekowisata menjelajah hutan dengan menunggangi gajah dari Tangkahan menuju Bukit Lawang.

Contoh kasus pertama adalah pengembangan ekowisata di Tangkahan. Dalam kasus ini, masyarakat yang sebelumnya merambah hutan kemudian beralih menjadi “pengusaha” ekowisata. Dibantu oleh beberapa LSM yang berfokus pada konservasi dan ekowisata, akhirnya mereka membentuk LPT (Lembaga Pariwisata Tangkahan) yang bertugas untuk mengembangkan ekowisata di Tangkahan. Berbagai pelatihan pun diadakan. Kini, setiap hari minggu, ratusan hingga ribuan wisatawan lokal mengunjungi tempat ini. Dengan tarif masuk sebesar Rp 2.000/orang bisa didapatkan Rp 2.000.000 hingga Rp 4.000.000 setiap hari minggu.

Sementara itu, wisatawan asing juga mulai sering berdatangan ke tempat ini karena lingkungannya yang masih alami dan asri. Selain itu, adanya program konservasi gajah oleh Flora Fauna Internasional (FFI) juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Berbagai variasi paket menunggangi gajah selalu menjadi kegemaran bagi wisatawan asing, misalnya paket menunggangi gajah selama 1 jam Rp 160.000, paket 2 jam Rp 320.000 dan paket 3 jam Rp 480.000. Ikut memandikan gajah juga menjadi atraksi tersendiri bagi wisatawan asing. Kini, warga di Tangkahan mulai bisa berbangga hati karena daerahnya menjadi salah satu destinasi wisata di Sumatera Utara.

Contoh kasus kedua adalah menjelajah hutan dengan menunggangi gajah dari Tangkahan menuju Bukit Lawang. Ini adalah program ekowisata yang masih baru. Total waktu tempuh perjalanan adalah 4 hari 3 malam dengan lama perjalanan setiap harinya ditempuh selama 6 jam. Pemilihan 6 jam ini didasarkan pada kekuatan fisik gajah untuk berjalan setiap harinya. Perjalanan hanya dapat dilakukan oleh 2-6 wisatawan. Jalur perjalanan dipilih dengan melihat kemiringan tanah, kekuatan struktur tanah, tidak melakukan penebangan tumbuhan, kemungkinan variasi tumbuhan dan satwa yang bisa ditemui. Setiap bulan hanya dapat dilakukan dua kali perjalanan. Ini untuk mempertimbangkan stabilitas tanah. Perjalanan menempuh perkebunan sawit, kebun karet dan hutan di dalam Taman Nasional Gunung Leuser. Selama perjalanan, wisatawan ditemani oleh pemandu yang akan menceritakan seluk beluk tentang hutan (arti penting hutan hujan, jenis tumbuhan dan satwa yang ditemui dalam perjalanan) beserta fungsinya.

Untuk bermalam (total 3 malam) disetiap tempat bermalam dibangun pondok sederhana. Pondok ini dibangun di luar area yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pondok ini dikelola oleh kelompok masyarakat yang dibentuk dan diberi pelatihan untuk meningkatkan kapasitas oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL): pelatihan penguatan organisasi, manajemen, memasak, pembuatan taman sederhana. Pondok ini sendiri dibangun oleh salah satu LSM – Yayasan Ekosistem Lestari – bersama dengan masyarakat. Hingga saat ini melalui program ini setiap kelompok telah mendapatkan pendapatan sekitar Rp 4.000.000 dari dua kali rombongan tamu. Sementara itu, salah satu pondok karena didukung oleh pemandangan alam yang cukup indah berhasil memperoleh pendapatan di luar dari program “elephant trekking” sekitar Rp 5.000.000. Ini didapatkan dari tamu yang hanya datang dan menginap di pondok. Pendapatan ini kemudian didistribusikan kepada anggota kelompok dan kas kelompok. Kas kelompok hanya dapat digunakan untuk kepentingan perawatan pondok dan kepentingan sosial.

Demikianlah logika menumbuh kembangkan “ekonomi hijau”. Pilihan menciptakan “ekonomi hijau” pada hutan terletak pada potensi pemanfaatan jasa lingkungan yang melekat padanya, bukan intervensi terhadap hutan secara langsung. “Ekonomi hijau” juga mengajarkan kepada pihak-pihak yang terlibat tentang arti penting keberlanjutan lingkungan.

Apa Selanjutnya?

Garrett Hardin (1968) menulis bahwa “moralitas sebuah tindakan merupakan fungsi dari gambaran keseluruhan sistem moral yang ada”. Kini kita mulai mengalami transformasi moralitas. Sebelumnya, moralitas dikendalikan oleh kapitalisme klasik yang menghalalkan segala cara demi mengejar akumulasi kapital, dalam hal ini uang. Sekarang, kita mulai mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial atau sering disebut kapitalisme yang tercerahkan (enlightened capitalism).

Oleh karena itu, perlu terus dikembangkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan pemanfaatan jasa lingkungan dan komunitas sehingga masyarakat lokal tetap mendapat peluang untuk berkembang secara ekonomi. Ekowisata dan perdagangan karbon adalah beberapa alternatif yang tersedia saat ini. Mekanisme berdasarkan partisipasi, transparansi, akuntabilitas harus menjadi semangat pengelolaan.

Sedangkan dalam waktu bersamaan, penyadaran akan arti penting hutan bagi kehidupan perlu terus digalakkan. Integrasi pengetahuan konservasi ke dalam kurikulum lokal dan ekstrakurikuler sekolah dari dini hingga mahasiswa dapat menjadi pilihan. Kunjungan ke lapangan oleh siswa juga harus sering dilakukan untuk meningkatkan interaksi antara siswa dan lingkungan.

Sementara dalam jangka panjang, perlu kiranya menumbuhkan sektor-sektor industri “ramah lingkungan” dan tidak berbasis eksploitasi hutan sehingga tidak terjadi lagi “justifikasi” ekonomis demi eksploitasi hutan. Bukankah menjadi aset yang begitu besar ketika bangsa ini memiliki industri ramah lingkungan dan di saat bersamaan hutan juga menjadi aset melalui penjualan jasa lingkungannya, untuk wisata, perdagangan karbon, penelitian, dll?. Bantuan atau kerjasama fasilitas modal, teknologi, keahlian, jaringan pemasaran oleh pemerintah atau pihak lainnya dapat menjadi “struktur insentif” bagi masyarakat untuk berkontribusi membangun “ekonomi hijau” sehingga akhirnya dapat menyadarkan bahwa hutan beserta yang terkandung di dalamnya adalah aset hidup sepanjang masa. Seperti diungkap oleh penelitian Oematan tentang makna hutan di Kota Kupang “kerusakan hutan merupakan hal yang tidak boleh terjadi agar berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari hasil hutan, terus berkesinambungan hingga ke anak-cucu mereka”. Manfaat dan berkesinambungan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Benih yang kecil, jika disebar merata dan cara yang tepat, akan mendatangkan hasil panenan yang cukup. Dua contoh kasus yang disajikan sebelumnya adalah benih-benih itu.

REFERENSI:

Hardin, Garrett, The Tragedy of the Commons, dalam Jurnal Science 162:1243-1248, 1968

IPCC Working Group I, The Physical Science Basis: Summary for Policymakers, 2007

Naturealert, The Cost of Palm Oil is Rising, diakses pada tanggal 10 Oktober 2008 di website http://www.naturealert.org/9.2.2008/images/Palm%20Oil%20Report.pdf

Novianto, Andi, didownload tanggal 11 Oktober 2008 di situs http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=5956&Itemid=718

Nugroho, Heru, Uang, Rentenir dan Hutan Piutang di Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Oematan, Alexander, Makna Hutan dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pelestarian Hutan: Suatu Studi Kasus Pelestarian Hutan di Kelurahan Fatukoa Kecamatan Maulafa Kota Kupang (diakses pada tanggal 20 Oktober 2008 di http://www.ntt-academia.org/MA-Tesis/MA-Tesis-UKSW-OEMATAN.pdf)

Salim, Emil, Implikasi Perubahan Iklim pada Pertanian dan Kehati, Makalah disampaikan pada Seminar Keanekaragaman Hayati Ditengah Perubahan Iklim:Tantangan Masa Depan Indonesia, diselenggarakan Oleh KEHATI, Jakarta 28 Juni 2007

The World Bank, 2008 Little Green Data Book, Washington DC: The World Bank, 2008

UNDP, Human Development Report 2007/2008 Fighting Climate Change: Human Solidarity in Divided World, New York: Palgrave Macmillan, 2007

Wiyono, Suryo, Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Ledakan Penyakit, Makalah disampaikan pada Seminar Keanekaragaman Hayati Ditengah Perubahan Iklim:Tantangan Masa Depan Indonesia, diselenggarakan Oleh KEHATI, Jakarta 28 Juni 2007

YEL-PanEco, How palm-oil plantations at Tripa increase disaster risk, contribute to climate change and drive a unique Sumatranorangutan population to extinction, 2008.


* Penulis adalah peminat masalah sosial dan lingkungan. Selain itu juga pekerja sosial.  Email: jokoguntoro@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *